Senin, 16 Mei 2011

Gereja Katolik kuno? Siapa bilang?

Gereja Katolik kuno? Siapa bilang?

I. Gereja Katolik kurang melakukan evangelisasi?

Kardinal Avery Dulles, SJ pernah mengatakan, “Tanyakan kepada umat Kristen apakah mereka mempunyai prioritas yang tinggi dalam menyebarkan iman mereka: 75% dari umat Protestan konservatif mengatakan ya, dan 57% dari konggregasi Amerika keturunan Afrika mengatakan ya, sedangkan yang mengatakan ya pada paroki- paroki Gereja Katolik hanya 6%. Tanyakan jika mereka mensponsori aktivitas evangelisasi setempat: 39% dari jemaat Protestan konservatif mengatakan ya, 16% jemaat Amerika keturunan Afrika mengatakan ya, dan hanya 3% dari paroki-paroki Katolik mendukungnya.” Mother Angelica, pendiri EWTN (Eternal Word Television Network) – stasiun televisi Katolik terbesar di dunia pernah mengatakan “Berikan kepada saya 10 orang Katolik yang mempunyai semangat yang sama seperti umat saksi-saksi Yehuwa, maka saya akan dapat merubah dunia“.

Itu adalah dua komentar dari orang-orang yang mempunyai andil dalam menyebarkan iman Katolik. Keduanya ingin mengatakan bahwa seluruh umat Katolik harus mempunyai semangat dalam menyebarkan iman Katolik. Namun, patut disayangkan bahwa ada sebagian dari elemen dalam Gereja Katolik, baik di tingkat anak-anak muda, keluarga, maupun di tingkat paroki, tidak terlalu menaruh perhatian besar pada karya-karya misi dan evangelisasi, walaupun tugas pewartaan adalah perintah Kristus sendiri. Jangankan memikirkan evangelisasi, bahkan ada sebagian dari umat Katolik yang mungkin tidak terlalu perduli terhadap apa yang dipercayainya. Bahkan ada sebagian yang mengatakan bahwa Gereja Katolik itu telah ketinggalan jaman, Gereja Katolik itu kuno.

II. Gereja Katolik kuno?

1. Sisi negatif dari “Gereja Katolik kuno”

Berapa kali kita mendengar dari begitu banyak anak muda, yang mengatakan bahwa “Gereja Katolik kuno“, apa-apa tidak boleh, terlalu kaku, terlalu prosedural, terlalu berorientasi kepada hirarki, kurang cepat merespon kebutuhan umat. Berapa banyak keluarga Katolik yang tidak terlalu perduli dengan pendidikan iman Katolik bagi anak-anak mereka? Gereja Katolik adalah kuno juga sering diartikan sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan, karena tidak dapat mengikuti perkembangan jaman. Dan masih banyak nada-nada sumbang lain yang terdengar cukup lantang dan minta perhatian yang serius.

2. Menempatkan pengertian “Gereja Katolik kuno” dengan semestinya.

Sering sekali kita memberikan suatu istilah yang mempunyai konotasi negatif dalam satu sisi kehidupan, namun dalam sisi kehidupan yang lain, kata yang sama mempunyai konotasi yang positif. Ada orang yang mengatakan bahwa mobil yang lama ketinggalan zaman, namun orang lain penggemar mobil kuno mengatakan bahwa semakin kuno sebuah mobil, maka semakin baik. Para pengumpul barang antik akan setuju bahwa guci yang lama – terutama yang berasal dari kekaisaran Cina abad-abad awal sampai pertengahan – mempunyai nilai yang begitu tinggi. Bahkan satu guci porselen Qianlong berukuran 40 cm dari abad 18 terjual dengan harga 51 juta Euro atau sekitar 600 milyar. Dengan demikian, kata “kuno” tidak selalu jelek, bahkan menjadi begitu bernilai. Dalam hal ini, kita perlu melihat bahwa iman yang ‘kuno’ juga bernilai, karena justru membuktikan keasliannya.

3. Iman yang kita pegang adalah “kuno” namun tetap relavan sampai akhir zaman.

Kalau kita meneliti, lebih jauh, maka iman kekristenan yang kita pegang adalah berdasarkan sesuatu yang kuno, yang bahkan mulai dari permulaan manusia, yaitu Adam dan Hawa. Dan kemudian perjalanan kisah keselamatan yang kuno ini terus berlanjut ke Habel, Noah, Abraham, Ishak, .. Musa, … Daud, .. Yesus, para rasul, Gereja Katolik – melalui penerus rasul Petrus dan penerus para rasul, yaitu Paus dan para Uskup serta para imam – dan kemudian berlanjut kepada seluruh umat beriman pada masa saat ini sampai akhir zaman. Bukankah dengan demikian, iman kita adalah berdasarkan warisan dari pendahulu kita di dalam iman, yang sungguh sangat kuno? Apakah dengan demikian iman kita menjadi salah? Tentu saja tidak, karena iman yang kuno ini didukung oleh wahyu Allah sendiri yang dituliskan di dalam Alkitab. Mari sekarang kita melihat definisi iman serta kaitannya dengan perkembangan iman dalam dunia modern.

a. Definisi iman

Iman, berasal dari kata pistis (Yunani), fides (Latin) secara umum artinya adalah persetujuan pikiran kepada kebenaran akan sesuatu hal berdasarkan perkataan orang lain, entah dari Tuhan atau dari manusia. Persetujuan ini berbeda dengan persetujuan dalam hal ilmu pengetahuan, sebab dalam hal pengetahuan, maka persetujuan diberikan atas dasar bukti nyata, bahkan dapat diukur dan diraba, namun perihal iman, maka persetujuan diberikan atas dasar perkataan orang/ pihak lain. Namun meskipun dari pihak lain, kita dapat yakin akan kebenarannya, sebab ‘pihak’ lain tersebut adalah Allah sendiri. Maka iman yang ilahi (Divine Faith), adalah berpegang pada suatu kebenaran sebagai sesuatu yang pasti, sebab Allah, yang tidak mungkin berbohong dan tidak bisa dibohongi, telah mengatakannya. Dan jika seseorang telah menerima/ setuju akan kebenaran yang dinyatakan Allah ini, maka selayaknya ia menaatinya.

Maka tepatlah jika Magisterium Gereja Katolik menghubungkan iman dengan ketaatan dan mendefinisikannya sebagai berikut:

“Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom16:26; lih. Rom1:5 ; 2Kor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”[1] dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran”[2] Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.”[3]

Maka dalam hal ini iman tidak berupa perasaan atau pendapat, tetapi merupakan sesuatu yang tegas, perlekatan akalbudi dan pikiran yang tak tergoyahkan kepada kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan. Maka motif sebuah iman yang ilahi adalah otoritas Tuhan, yaitu berdasarkan atas Pengetahuan-Nya dan Kebenaran-Nya. Jadi, kita percaya akan kebenaran- kebenaran itu bukan karena pikiran kita mampu sepenuhnya memahaminya atau kita dapat melihatnya, namun karena Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Benar menyatakannya. Kebenaran yang dinyatakan oleh Allah ini diberikan melalui Sabda-Nya, yaitu yang disampaikan kepada kita umat beriman melalui Kitab Suci dan Tradisi Suci, sesuai dengan yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik, yang kepadanya Kristus telah memberikan kuasa untuk mengajar dalam nama-Nya. Nah, untuk menerima kebenaran yang dinyatakan Allah ini, diperlukan kasih karunia dari Allah sendiri, dan untuk menanggapinya dengan ketaatan, diperlukan kerjasama dari pihak kita manusia.

Selanjutnya, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan,

KGK 1814 Iman adalah kebajikan ilahi, olehnya kita percaya akan Allah dan segala sesuatu yang telah Ia sampaikan dan wahyukan kepada kita dan apa yang Gereja kudus ajukan supaya dipercayai. Karena Allah adalah kebenaran itu sendiri. Dalam iman “manusia secara bebas menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah” (Dei Verbum 5).Karena itu, manusia beriman berikhtiar untuk mengenal dan melaksanakan kehendak Allah. “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rom 1:17) Iman yang hidup “bekerja oleh kasih” (Gal 5:6).

b. Pengajaran iman yang baik tidak muncul tiba-tiba, namun berakar kuat dalam Tradisi.

Sering sekali orang mengatakan bahwa kita harus mengikuti perkembangan zaman. Namun, pokok-pokok iman tidak dapat mengikuti perkembangan zaman, karena iman yang baik senantiasa berakar kuat dalam Sabda Tuhan, baik yang lisan maupun yang tertulis (lih. 2Tes 2:15). Cardinal Newman, dalam bukunya “An Essay on the Development of Christian Doctrines”, meneliti bahwa Gereja yang mempunyai pengajaran yang benar adalah Gereja yang mempunyai perkembangan ajaran yang dapat ditelusuri sampai kepada jaman awal kekristenan, yang bersumber pada Yesus sendiri. Ini berarti harus ada konsistensi dalam pengajaran, sama seperti perkembangan pohon kecil ke pohon yang besar. Yang dimaksudkan dari kecil ke besar adalah ajaran yang sama, namun perkembangannya hanya untuk memperjelas pengertian bukan mengubah ajaran. Hal inilah yang ditemukan oleh Kardinal Newman dalam Gereja Katolik, sehingga karena ia menempatkan kebenaran di atas segalanya, akhirnya Kardinal Newman berpindah dari gereja Anglikan ke Gereja Katolik.

Inilah sebabnya, pengajaran iman yang baik adalah iman yang berdasarkan ajaran kuno, dalam pengertian pengajaran yang dipercaya oleh jemaat perdana dan diteruskan oleh umat Allah dari generasi ke generasi. Dengan demikian, kita tidak dapat membuat ajaran-ajaran baru – yang tidak pernah diajarkan di Alkitab maupun oleh para Bapa Gereja, yang mewakili jemaat perdana. Kebenaran dalam iman bukanlah berdasarkan sesuatu yang baru namun berdasarkan sesuatu yang “kuno“. Dengan demikian kebenaran iman menjadi suatu jalinan benang yang terjalin erat satu sama lain dan tak terpisahkan. Atau sama seperti pohon kecil yang bertumbuh menjadi pohon besar, dengan batang pohon yang sama, dengan ranting-ranting yang semakin besar dan banyak, namun tetap bergantung pada batang pohon yang sama, sehingga menghasilkan buah-buah yang limpah.

Tanpa parameter ini, maka akan sulit bagi seseorang untuk meyakini bahwa apa yang diimaninya adalah sungguh-sungguh benar. Tanpa parameter ini, maka ajaran iman yang dianggap benar pada masa dulu dapat saja dianggap salah pada masa ini dan dapat menjadi benar di kemudian hari. Hal ini dapat kita lihat dalam salah satu ajaran tentang Perjamuan Suci. Alkitab dan jemaat perdana mempercayai bahwa Kristus hadir secara nyata (Tubuh, Jiwa dan ke-Allahan-Nya) dalam rupa roti dan anggur:

1) St. Ignatius dari Antiokhia (110), adalah murid dari rasul Yohanes. Ia menjadi uskup ketiga di Antiokhia. Sebelum wafatnya sebagai martir di Roma, ia menulis tujuh surat kepada gereja-gereja, berikut ini beberapa kutipannya:

a. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, dia mengatakan, “…Di dalamku membara keinginan bukan untuk benda-benda materi. Aku tidak menyukai makanan dunia… Yang kuinginkan adalah roti dari Tuhan, yaitu Tubuh Kristus… dan minuman yang kuinginkan adalah Darah-Nya: sebuah makanan perjamuan abadi.”[4]

b. Dalam suratnya kepada jemaat di Symrna, ia menyebutkan bahwa mereka yang tidak percaya akan doktrin Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi sebagai ‘heretik’/ sesat: “Perhatikanlah pada mereka yang mempunyai pandangan beragam tentang rahmat Tuhan yang datang pada kita, dan lihatlah betapa bertentangannya pandangan mereka dengan pandangan Tuhan …. Mereka pantang menghadiri perjamuan Ekaristi dan tidak berdoa, sebab mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah Tubuh dari Juru Selamat kita Yesus Kristus, Tubuh yang telah menderita demi dosa-dosa kita, dan yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa…”[5]

c. Dalam suratnya kepada jemaat di Filadelfia, ia mengatakan pentingnya merayakan Ekaristi dalam kesatuan dengan Uskup, “Karena itu, berhati-hatilah… untuk merayakan satu Ekaristi. Sebab hanya ada satu Tubuh Kristus, dan satu cawan darah-Nya yang membuat kita satu, satu altar, seperti halnya satu Uskup bersama dengan para presbiter [imam] dan diakon.”[6]

2) St. Yustinus Martir (sekitar tahun 150-160). Ia menjadi Kristen sekitar tahun 130, oleh pengajaran dari para murid rasul Yohanes. Pada tahun 150 ia menulis Apology, kepada kaisar di Roma untuk menjelaskan iman Kristen, dan tentang Ekaristi ia mengatakan: “Kami menyebut makanan ini Ekaristi, dan tak satu orangpun diperbolehkan untuk mengambil bagian di dalamnya kecuali jika ia percaya kepada pengajaran kami… Sebab kami menerima ini tidak sebagai roti biasa atau minuman biasa; tetapi karena oleh kuasa Sabda Allah, Yesus Kristus Penyelamat kita telah menjelma menjadi menjadi manusia yang terdiri atas daging dan darah demi keselamatan kita, maka, kami diajar bahwa makanan itu yang telah diubah menjadi Ekaristi oleh doa Ekaristi yang ditentukan oleh-Nya, adalah Tubuh dan Darah dari Kristus yang menjelma dan dengan perubahan yang terjadi tersebut, maka tubuh dan darah kami dikuatkan.”[7]

3) St. Irenaeus (140-202). Ia adalah uskup Lyons, dan ia belajar dari St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam karyanya yang terkenal, Against Heresies, ia menghapuskan pandangan yang menentang ajaran para rasul. Tentang Ekaristi ia menulis, “Dia [Yesus] menyatakan bahwa piala itu, … adalah Darah-Nya yang darinya Ia menyebabkan darah kita mengalir; dan roti itu…, Ia tentukan sebagai Tubuh-Nya sendiri, yang darinya Ia menguatkan tubuh kita.”[8]

4) St. Cyril dari Yerusalem (315-386), Uskup Yerusalem, pada tahun 350 ia mengajarkan, “Karena itu, jangan menganggap roti dan anggur hanya dari penampilan luarnya saja, sebab roti dan anggur itu, sesuai dengan yang dikatakan oleh Tuhan kita, adalah Tubuh dan Darah Kristus. Meskipun panca indera kita mengatakan hal yang berbeda; biarlah imanmu meneguhkan engkau. Jangan menilai hal ini dari perasaan, tetapi dengan keyakinan iman, jangan ragu bahwa engkau telah dianggap layak untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus.”[9]

5) St. Augustinus (354-430), Uskup Hippo, mengajarkan, “Roti yang ada di altar yang dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, adalah Tubuh Kristus. Dan cawan itu, atau tepatnya isi dari cawan itu, yang dikonsekrasikan dengan Sabda Tuhan, adalah Darah Kristus….Roti itu satu; kita walaupun banyak, tetapi satu Tubuh. Maka dari itu, engkau diajarkan untuk menghargai kesatuan. Bukankah roti dibuat tidak dari saru butir gandum, melainkan banyak butir? Namun demikian, sebelum menjadi roti butir-butir ini saling terpisah, tetapi setelah kemudian menjadi satu dalam air setelah digiling…[dan menjadi roti]”[10]

Martin Luther sendiri mempercayai bahwa Kristus hadir secara nyata, walaupun dia berpendapat bahwa roti dan anggur tersebut juga mempunyai substansi roti dan anggur. Dengan kata lain, kehadiran Kristus secara nyata adalah bersama-sama dengan roti dan anggur. Atau roti dan anggur yang telah diberkati mempunyai dua substansi, yaitu roti dan anggur serta Kristus sendiri. Kemudian pada tahun 1529, Martin Luther berdebat dengan Zwingli pada konfrensi di Marburg untuk mempertahankan bahwa Kristus hadir secara nyata dalam roti dan anggur. Kita dapat melihat ajaran Martin Luther dalam “Small Catechism” bagian VI, yang ditulisnya sendiri sebagai berikut:[11]

VI. The Sacrament of the Altar

As the head of the family should teach it in a simple way to his household.

What is the Sacrament of the Altar?

It is the true body and blood of our Lord Jesus Christ, under the bread and wine, for us Christians to eat and to drink, instituted by Christ Himself.

Where is this written?

The holy Evangelists, Matthew, Mark, Luke, and St. Paul, write thus:

Our Lord Jesus Christ, the same night in which He was betrayed, took bread: and when He had given thanks, He brake it, and gave it to His disciples, and said, Take, eat; this is My body, which is given for you. This do in remembrance of Me.

After the same manner also He took the cup, when He had supped, gave thanks, and gave it to them, saying, Take, drink ye all of it. This cup is the new testament in My blood, which is shed for you for the remission of sins. This do ye, as oft as ye drink it, in remembrance of Me.

What is the benefit of such eating and drinking?

That is shown us in these words: Given, and shed for you, for the remission of sins; namely, that in the Sacrament forgiveness of sins, life, and salvation are given us through these words. For where there is forgiveness of sins, there is also life and salvation.

How can bodily eating and drinking do such great things?

It is not the eating and drinking, indeed, that does them, but the words which stand here, namely: Given, and shed for you, for the remission of sins. Which words are, beside the bodily eating and drinking, as the chief thing in the Sacrament; and he that believes these words has what they say and express, namely, the forgiveness of sins.

Who, then, receives such Sacrament worthily?

Fasting and bodily preparation is, indeed, a fine outward training; but he is truly worthy and well prepared who has faith in these words: Given, and shed for you, for the remission of sins.

But he that does not believe these words, or doubts, is unworthy and unfit; for the words For you require altogether believing hearts.

Lebih lanjut dalam Augsburg Confession / Confessio Augustana (25 Juni 1530), di artikel X – tentang Perjamuan Allah (of the Lord’s Supper), diajarkan bahwa gereja Lutheran percaya bahwa Tubuh dan Darah Kristus adalah sungguh-sungguh hadir di dalam, dengan, dan dalam rupa roti dan anggur dari sakramen tersebut dan menolak siapapun yang mengajarkan yang lain.[12]

Namun, apa yang dipercayai oleh Martin Luther tidak dipercayai oleh Ulrich Zwingli maupun John Calvin. Yang pertama percaya bahwa Ekaristi hanya sebagai simbol, yang kedua percaya bahwa Kristus hadir secara nyata hanya secara spiritual. Dan kemudian, kalau kita melihat, ajaran yang berbeda-beda tentang Ekaristi diajarkan oleh begitu banyak denominasi Kristen. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana umat Allah dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak?

c. Pengajaran iman yang baik harus dipastikan kebenarannya.

Disinilah pentingnya adanya suatu otoritas, yang memberikan kepastian ajaran. Otoritas ini begitu penting, karena tanpa otoritas maka semua orang dapat mempunyai pendapat yang berbeda-beda akan ajaran iman. Otoritas ini bukanlah otoritas yang dibuat oleh manusia, namun otoritas yang bersifat Ilahi, karena diperintahkan sendiri oleh Kristus, ketika dia mengatakan “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mt 16:19). Mengikat dan melepaskan adalah manifestasi dari otoritas. Otoritas inilah yang diberikan oleh Kristus kepada Petrus dan penerus rasul Petrus, yaitu para Paus. Dan otoritas untuk mengampuni dosa juga diberikan kepada para rasul serta para penerusnya, yaitu para uskup, sehingga Yesus mengatakan “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:23). Dengan dasar inilah, maka Gereja, melalui Magisterium Gereja diberikan kuasa atau otoritas oleh Kristus untuk menjadi pilar kebenaran. Dan hal ini ditegaskan kembali oleh rasul Paulus, yang mengatakan “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat (ecclesia = Church = Gereja) dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1Tim 3:15).

Inilah sebabnya, ketika Magisterium Gereja memberikan pengajaran iman dan moral, maka kita sebagai umat Katolik harus mempercayainya dan mengikutinya. Kalau kita memilih-milih dan menentukan sendiri mana pengajaran yang terlihat masuk akal dan nama yang tidak, maka iman kita bukan lagi bersifat Ilahi atau adi-kodrati, namun bersifat manusiawi. Menjadi bersifat manusiawi, karena parameter akhir dalam menentukan kebenaran adalah diri sendiri. Dan kalau ini diterapkan, maka akan terjadi perpecahan di mana-mana, yang pada akhirnya melanggar perintah dari Kristus untuk menjaga persatuan umat Allah (lih. Yoh 17:21).

4. Kuno sekaligus modern

Seperti yang telah diterangkan di depan, maka kita dapat melihat bahwa Gereja Katolik senantiasa mengajarkan pokok-pokok iman yang berdasarkan wahyu Allah, baik yang tertulis – yaitu Kitab Suci – dan juga yang lisan – yaitu Tradisi Suci, yang dijaga kemurniannya oleh Magisterium Gereja, sehingga kebenaran iman dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi secara konsisten dan murni. Namun, bukan berarti bahwa kalau kita mempunyai iman yang kuno, maka kita tidak dapat mengadaptasi cara evangelisasi secara modern. Justru penggabungan dua hal inilah yang didengung-dengungkan dalam konsili Vatikan II.

Kita mendengar adanya dua kata kunci dalam konsili Vatican II, yaitu “aggiornamento” dan “ressourcement“. Ressourcement berasal dari bahasa Perancis yang berarti “kembali ke sumber”, baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci. Aggiornamento, berasal dari bahasa Italia, yang berarti updating atau pembaharuan. Pembaharuan di sini bukanlah membuat ajaran-ajaran baru yang tidak sesuai dengan Alkitab maupun Tradisi Suci, namun lebih ke arah metode evangelisasi, sehingga pengajaran iman Katolik yang begitu benar dan indah dapat disampaikan dengan lebih jelas, yang berarti orang dapat menerima pengajaran tersebut dengan jelas dan penuh kegembiraan. Pembaharuan di sini adalah metode penyampaian, yang disesuaikan dengan kondisi zaman, dan juga kondisi pendengar. Dengan memperhatikan kondisi zaman dan kondisi pendengar, maka kabar gembira dapat disampaikan secara lebih relevan, sehingga pendengar dapat mengkorelasikannya dengan kehidupan mereka masing-masing. Pembaharuan di sini bukanlah untuk membuat doktrin yang baru, namun menyesuaikan dengan alat bantu yang ada, seperti internet, video, dll. Dan hal ini diserukan oleh Paus Yohanes Paulus II maupun Paus Benediktus XVI. Pada tahun 2009 pada hari komunikasi seluruh dunia yang ke-43, Paus Benediktus XVI mengatakan “Saya ingin mendorong kaum muda Katolik untuk membawa kesaksian iman mereka ke dalam dunia digital.

III. Pelajarilah, hiduplah dan sebarkanlah!

1. Pelajarilah iman Katolik dengan sungguh-sungguh.

Bagai pepatah, ‘Tak kenal maka tak sayang’, maka kita harus mengenal dan mempelajari iman kita, agar dapat menjadikan iman kita ini bagian dari hidup, dan dapat kita bagikan kepada orang lain. Walaupun mempelajari iman Katolik membutuhkan banyak waktu, mengingat banyaknya sumber yang harus dipelajari, -seperti dari kitab suci, dokumen-dokumen Gereja, tulisan para Bapa Gereja dan Para Kudus, dll – namun ini merupakan hal yang sangat berguna dan tidak dapat diukur manfaatnya bagi keselamatan jiwa kita. Suatu kenyataan yang harusnya mendorong kita adalah bagaimana saudara-saudari kita dari agama Kristen lain yang justru kembali ke pangkuan Gereja Katolik setelah mempelajari ‘kekayaan iman’ tersebut. Padahal kita sendiri yang Katolik belum tentu mengetahui dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.

Mempelajari iman Katolik bukan dimaksudkan hanya agar kita mengetahui ’sebatas kepala dan tidak turun ke hati’. Sebab jika demikian kita akan mirip seperti orang Farisi yang rajin mempelajari Kitab suci, tetapi tidak menjiwai dan menerapkannya di dalam hidup. Mempelajari iman di sini berarti mendekati kebenaran dengan iman dan akal budi (faith and reason) (Di dalam pembukaan surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, yang berjudul Fides et Ratio (Faith and Reason), ia berseru, “Iman dan akal budi adalah seperti dua sayap yang mengangkat roh manusia untuk mencapai kontemplasi kebenaran; dan Tuhan telah menempatkan di dalam hati manusia keinginan untuk mengetahui kebenaran- yaitu untuk mengenal dirinya sendiri- sehingga dengan mengenal dan mengasihi Allah- semua orang, pria dan wanita -dapat juga sampai pada kepenuhan kebenaran tentang diri mereka sendiri (bdk Kel 33:18; Mzm 27:8-9; 63:2-3; Yoh 14:8; 1Yoh 3:2).

Faith and reason are like two wings on which the human spirit rises to the contemplation of truth; and God has placed in the human heart a desire to know the truth- in a word, to know himself – so that, by knowing and loving God, men and women may also come to the fullness of truth about themselves (cf. Ex 33:18; Ps 27:8-9; 63:2-3; Jn 14:8; 1Jn 3:2).))

dan dengan demikian, mengikuti Firman Tuhan sendiri yang mengatakan “…siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat…” (1 Pet 3:15). Jika kita kurang memahami iman dan pengharapan kita, tentu sulitlah bagi kita untuk memberi pertanggunggan jawab tentang iman kita jika ada yang bertanya pada kita.

Jadi mempelajari iman kita adalah suatu bentuk kerendahan hati, yang dimulai dari sikap ketaatan, menerima pernyataan wahyu Allah yang dipercayakan oleh Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Jika ada pengajaran yang belum kita mengerti, kita mohon karunia Roh Kudus untuk membimbing kita, namun kita harus percaya bahwa Roh Kudus itu telah lebih dahulu bekerja pada para Rasul dan kini terus bekerja di dalam para pengganti mereka, sehingga dengan kerendahan hati kita harus menerima sepenuhnya pengajaran Gereja. Dengan sikap ini, tentulah pada waktuNya, Tuhan akan membantu kita memahami pengajaran tersebut.

2. Hiduplah sesuai dengan iman Katolik.

Ingatlah bahwa iman Katolik adalah sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, bukan hanya urusan di gereja seminggu sekali. Hidup sesuai dengan iman Katolik inilah yang dimaksud dengan hidup kudus yang kita laksanakan di rumah, di tempat kerja, di sekolah, dan di mana saja. Dalam pelaksanaannya mungkin saja kita akan menghadapi tantangan, cemooh, atau bahkan kehilangan teman. Dalam hal ini ingatlah apa yang dikatakan Yesus untuk mereka yang dianiaya karena Dia, “Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga” (Mat 5:12).

Hidup sesuai dengan iman Katolik adalah hidup dalam kekudusan (lihat artikel: Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus). Ini memang perjuangan bagi setiap kita. Iman kita harus selalu membawa perubahan diri kita ke arah yang lebih baik. Kita harus punya semangat seperti Rasul Paulus yang mengajarkan agar kita senantiasa taat dan mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar (lih. Fil 2:12). Takut di sini maksudnya adalah hormat (‘reverence and awe’) yang menggambarkan kasih kita sebagai anak-anak Allah untuk tidak melawan Allah Bapa kita,[13] baik dengan perkataan ataupun perbuatan. Hormat kepada Allah Bapa juga disertai dengan hormat kepada Yesus PuteraNya dan Gereja yang didirikanNya oleh kuasa Roh Kudus.

3. Sebarkanlah iman Katolik-mu.

Yesus menginginkan kita untuk menyebarkan kasihNya kepada seluruh dunia, sehingga dunia dapat dibawa kepada kebenaranNya, sebab Kristuslah “Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh 14:6). Jadi menyebarkan iman bukan hanya menjadi tanggungjawab para uskup, imam dan religius lainnya, tetapi menjadi tugas kita semua. Penyebaran iman ini adalah pertama-tama melalui teladan hidup dan bukan hanya dengan kata-kata.

Ingatlah bahwa sebelum naik ke surga Yesus berkata, “…Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, dan ajarkanlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. (Mat 28:19-20). Pada hari Pentakosta, kita melihat bagaimana Roh Kudus berkarya di atas para Rasul sehingga mereka dapat bersaksi tentang Yesus dengan berani, sampai akhirnya berita Injil dapat tersebar ke seluruh bumi. Roh Kudus yang sama itu berada di Gereja Katolik, yang juga berarti tinggal di dalam hati kita, anggota-anggotanya.[14] Komuni kudus yang kita terima hendaknya menjadikan kita pembawa misi Kristus. Mari kita bagikan rahmat persekutuan dengan Tuhan ini kepada orang-orang lain, sehingga mereka-pun dapat mengenal dan mengasihi Allah.

IV. Gereja Katolik kuno, tapi senantiasa mengikuti perkembangan zaman.

Dari pemaparan di atas, maka kita dapat melihat bahwa memang Gereja Katolik kuno dari sisi pengajaran iman, karena pengajaran iman yang kuno – dalam pengertian bersumber pada Sabda Allah tertulis (Alkitab) dan Lisan (Tradisi Suci), serta dijaga oleh Magisterium Gereja – maka pengajaran iman dapat terjamin kebenarannya. Dengan demikian, umat Allah akan mempunyai kepastian akan imannya. Dengan berpegang pada pilar-pilar kebenaran ini, maka kesatuan umat Allah dapat terjaga, seperti yang diinginkan oleh Kristus di Yoh 17.

Namun, kebenaran akan menjadi benda kuno dan tidak terpakai kalau tidak diwartakan. Oleh karena itu, seluruh umat Allah harus menyatukan derap langkah untuk membangun Gereja Katolik yang kita kasihi. Seluruh umat Allah dalam kapasitasnya masing-masing harus saling membantu agar semua umat dapat bertumbuh dalam kekudusan, serta menyebarkan kabar gembira, mengajarkan semua hal yang diperintahkan oleh Kristus . Mari, kita bersama-sama membangun Gereja Katolik yang kita kasihi sebagai manifestasi akan kasih kita kepada Allah. Biarlah Gereja-Nya menjadi terang dunia dan menjadi sakramen keselamatan bagi seluruh bangsa.

Apa artinya menjadi seorang Kristen?

Apa artinya menjadi seorang Kristen?


Kristianitas: sudah 2000 tahun, sudahkah ‘berhasil’?

Pernahkah anda merenung, mengapa sudah 2000 tahun berlalu, namun dunia ini belum semuanya mengenal ataupun percaya kepada Kristus? Apakah dengan demikian maka Tuhan hanya bermaksud menyelamatkan sebagian kecil manusia saja, sedangkan sebagian besar yang lainnya ditentukan Tuhan masuk neraka? Jadi untuk apa kita menjadi seorang Kristen? Mengapa ada banyak orang yang mengaku Kristen tetapi hidupnya tidak sesuai dengan ajaran Kristus? Ada banyak pertanyaan seperti ini di dalam benak kita, yang tentunya dapat menimbulkan aneka jawaban.

Kita hidup dalam penantian akan penggenapan janji keselamatan

Dalam bukunya, What it means to be a Christian, Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) menyatakan bahwa kita harus belajar menerima dan menyadari bahwa hidup kita di dunia ini seperti masa Adven (masa penantian) akan penggenapan janji keselamatan yang Tuhan berikan di dalam Kristus Putera-Nya. Ada banyak realitas yang terjadi di sepanjang sejarah manusia, baik dan buruk silih berganti; perang dan damai, kebaikan dan kejahatan, semua terjalin dalam satu rangkaian kejadian. Ini semua menunjukkan, betapa selama hidup di dunia ini kita manusia memang mengalami pergumulan. Dan sesungguhnya, dalam keadaan ini kita dapat banyak belajar dari sikap Ayub: berani bertanya kepada Tuhan, meskipun akhirnya harus menyerahkan segala sesuatunya ke dalam kebijaksanaan Tuhan, yang tidak dapat kita pahami sepenuhnya. Sejarah manusia ini memang mengisahkan tentang berbagai kelemahan umat manusia di hadapan Allah yang penuh belas kasihan.[1]

Kitab Suci sendiri menjanjikan kepada kita seorang Raja Damai/ Mesias yang akan membawa kita kepada keadaan yang penuh damai sejahtera, yang secara simbolis dijabarkan dalam kitab Yes 11:6-9. Keadaan ini menggambarkan kesejahteraan yang ada pada bangsa yang hidup seturut ajaran Sang Raja Damai, karena setiap orang hidup atas dasar pengenalan mereka akan Tuhan, sehingga mereka bagaikan bumi yang ditutupi oleh air laut.

Namun jika kita melihat dengan jujur, kita mengetahui bahwa keadaan ini belum terwujud sekarang ini, melainkan hal itu menjadi gambaran kesempurnaan pada kehidupan Surgawi yang akan datang. Kenyataan ini membawa akibat berikutnya, yaitu, bahwa kita yang adalah murid- murid Kristus Sang Mesias, dipanggil oleh Tuhan untuk berjuang dalam mewujudkan kehendak Tuhan membentuk kehidupan yang penuh damai tersebut, selama kita masih hidup di dunia ini. Sebab bukannya tidak mungkin, karena ada banyak orang Kristen yang hidupnya tidak sesuai dengan ajaran Kristen, maka orang lain yang belum mengenal Kristus mempunyai gambaran yang keliru tentang Kristus dan Gereja.

Apa yang dikehendaki Allah?

Sabda Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa Allah menghendaki agar “semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1 Tim 2:4). Oleh karena itu, walaupun Tuhan memandang kepada tiap- tiap orang sebagai ciptaan yang amat dikasihi-Nya, Ia juga memandang keseluruhan umat manusia sebagai satu kesatuan. Allah menghendaki semua orang diselamatkan. Dan Allah melakukan segala sesuatu untuk maksud itu; sampai ke titik yang ekstrim, sehingga bahkan banyak orang sulit untuk mempercayainya. Ia, Sang Allah Pencipta, rela menjelma menjadi manusia. “Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.” (Luk 2:12). Kristus Sang Allah Putera, meninggalkan segala kekayaan dan kemegahan surgawi, untuk menjadi bayi mungil yang miskin dan papa. Sepanjang hidup-Nya di dunia, Kristus memilih untuk menjadi miskin, menjadi seorang hamba, dan wafat juga dengan cara yang sangat hina (Fil 2:5-10). Semuanya ini menjadi tanda bukti akan kasih Allah yang mau melakukan apa saja untuk menyelamatkan kita manusia yang berdosa.

St. Athanasius dan St. Augustinus mengajarkan, “Allah menjadi manusia supaya manusia dapat menjadi anak- anak Allah.” Maka kita ketahui bahwa Allah menginginkan agar kita dapat menjadi anak- anak -Nya, dan memanggil-Nya Bapa (Rom 8:15). Namun panggilan ini disertai dengan undangan untuk hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai anak Allah; yang dapat diringkas menjadi satu kalimat ini: hidup mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Perintah utama inilah yang diajarkan oleh Kristus, dan kita semua melihat betapa Kristus sendiri menggenapinya dengan sempurna melalui pengorbanan-Nya di kayu salib.

Menjadi Kristen= menjadi seperti Kristus?

Maka sebagai murid- murid Kristus, kita dipanggil untuk hidup seturut teladan-Nya, yang sedikitnya dapat kita rinci sebagai berikut:

1. Hidup bagi orang lain

Kita mengetahui bahwa menjadi Kristen bukan sekedar menerima Baptisan dan mengakui dengan mulut bahwa Kristus adalah Tuhan Penyelamat kita; lalu kita dapat ‘mengantungi’ keselamatan kita untuk diri sendiri, tak usah terlalu peduli dengan orang lain. Tidak demikian! Kita tidak menjadi Kristen demi diri kita sendiri; sebab jika kita mempunyai kehendak dan pikiran seperti Kristus, kitapun harus bertindak seperti Kristus. Artinya, kita harus mau ikut ambil bagian dalam pelayanan Kristus terhadap dunia ini. Kita harus mau keluar dari ke- aku- an diri sendiri, dan berani hidup bagi orang lain. Kita harus mau melayani daripada dilayani. Singkatnya, kita tidak lagi memusatkan perhatian pada kepentingan diri sendiri, tetapi kepada kepentingan orang lain (Flp 2:4).

Prinsip pemikiran ini membantu kita memahami, bahwa kita menjadi Kristen, bukan demi diri kita sendiri, tetapi karena Tuhan menginginkan agar kita turut melakukan pekerjaan- pekerjaan-Nya untuk mendatangkan keselamatan bagi banyak orang. Tuhan bekerja melalui manusia- manusia ciptaan-Nya. Itulah sebabnya Ia memilih bangsa Israel pada masa Pernjanjian Lama. Bukan artinya bahwa setelah memilih bangsa Israel lalu bangsa- bangsa yang lain direncanakan-Nya untuk binasa, melainkan sebaliknya, agar melalui bangsa Israel, bangsa- bangsa lain diselamatkan. Dengan prinsip yang sama kita melihat peran Gereja, yaitu bahwa melalui Gereja, Tuhan menyampaikan Terang-Nya dan Kasih- Nya kepada dunia, agar dunia mengenal jalan keselamatan-Nya.

2. Mengasihi tanpa pilih- pilih dan tanpa perhitungan

Kitab Suci mengajarkan kepada kita, betapa Allah memihak kepada orang- orang yang tersisihkan: janda, fakir miskin, orang sakit, anak- anak, singkatnya, mereka yang lemah dan kecil. Yesus bahkan menyamakan diri-Nya dengan mereka semua; dan kelak akan menghakimi kita sesuai dengan banyaknya perbuatan kasih yang kita lakukan terhadap mereka (lih. Mat 25). Ajaran ini tentu bertentangan dengan pandangan dunia, yang cenderung memberi dengan harapan akan menerima kembali, atau mengasihi dengan harapan akan dibalas kasih. Tuhan Yesus menujukkan sebaliknya, Ia mengasihi kita, bukan karena kita sudah baik, bukan karena kita hebat, bukan karena kita bisa berguna bagi Dia. Ia mengasihi kita karena Ia sungguh baik. Firman Tuhan mengatakan, “… tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Rom 5:8) Dan ajaibnya, kasih yang seperti inilah yang mampu mengubah kita. Pertanyaannya sekarang: sudahkah kita memiliki kasih seperti ini kepada orang lain?

3. Mengasihi dengan prinsip “superabundant“/ lebih dari yang disyaratkan.

Melihat teladan Yesus, kita mengetahui bahwa menjadi seorang Kristen artinya mengasihi dengan kasih yang lebih dari yang disyaratkan. Kasih inilah yang diajarkan oleh Kristus kepada kita; yaitu supaya kita tidak hanya puas dengan ‘asal menghindari dosa berat’, asal melakukan yang benar sesuai hukum, seperti sikap ahli Farisi (lih. Mat 5:20). Yesus mengajarkan kita untuk berbuat ekstra. Itulah yang dicontohkan-Nya sendiri pada banyak mukjizatnya, seperti mukjizat di Kana (Yoh 2), dan mukjizat pergandaan roti (Mat 14:13-21, Mrk 6:32-44, Luk 9:10-17, Yoh 6:1-15). Di atas semua itu, kasih yang melimpah ini ditunjukkan dengan pengorbanan-Nya di kayu salib, sebagai cara yang dipilih-Nya menyelamatkan manusia. Oleh kasih karunia inilah kita diselamatkan (Ef 2:8-9).

Kelimpahan kasih Allah dalam mewujudkan rencana keselamatan-Nya, bahkan sampai ‘meluber’ kepada kita; sehingga kitapun dipanggil untuk turut ambil bagian dalam karya kasih-Nya ini. Bukan karena kasih-Nya yang kurang panjang untuk menjangkau semua orang, tetapi karena Ia ingin melibatkan kita sebagai anggota Tubuh-Nya untuk berkarya bersama-Nya. Sebenarnya, kasih Allah yang ‘superabundant‘ inilah yang mendorong orang- orang yang memberikan hidup sepenuhnya untuk Tuhan, seperti para rohaniwan dan rohaniwati, para misionaris, para sukarelawan, yang mungkin terinspirasi oleh pengajaran Yesus kepada orang muda yang kaya (lih. Mat 19:16-26). Pengorbanan mereka seharusnya menjadi contoh bagi kita, dan harus selalu kita dukung dengan doa- doa. Hal ini mendorong kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita menyadari akan kasih Allah yang ‘superabundant‘ ini? Sudahkah kita menanggapinya dengan kasih yang melimpah juga? Sudahkah kita mengambil bagian di dalam kasih Allah ini?

4. Kasih mensyaratkan iman, iman mensyaratkan kasih

Walaupun Kitab Suci mengatakan bahwa mereka yang hidup dalam kasih itu berasal dari Allah (1 Yoh 4:8), kita mengetahui bahwa kesempurnaan makna kasih itu diperoleh di dalam Kristus, seperti disebutkan 1 Yoh 4:10-12. Maka jika kita sungguh mengasihi Allah, seharusnya kita mengimani Kristus, Allah Putera yang diutus sebagai pendamaian atas dosa- dosa kita. Kasih karunia Allah dan iman akan Kristus inilah yang memampukan kita untuk mengikuti teladan Kristus, yaitu untuk hidup dalam kasih, kepada Allah dan kepada sesama (1 Yoh 4:16-21). Oleh sebab itu, firman Tuhan tidak memisahkan antara kasih karunia dengan iman (lih. Ef 2:8-9) dan iman dengan perbuatan kasih (Yak 2:24) untuk menghantar kita kepada keselamatan.

5. Iman dan kasih yang ’superabundant’ mendorong kita untuk menaati segala perintah Allah.

Kita mengetahui bahwa perintah Yesus yang terakhir kepada para murid-Nya sebelum Ia naik ke surga adalah, agar mereka pergi ke seluruh dunia untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya, membaptis mereka, dan mengajarkan segala perintah-Nya (lih. Mat 28:19-20). Maka selayaknya, jika kita mengasihi Kristus kita mengikuti kehendak-Nya ini. Jadi Pembaptisan selayaknya tidak kita anggap sebagai formalitas, namun sungguh- sungguh sebagai sarana yang dipilih Allah untuk menyampaikan rahmat-Nya agar kita tergabung dalam keluarga Kerajaan Allah (lih. Yoh 3:5). Selanjutnya, kita juga dengan rendah hati mau belajar menerima dan melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh-Nya. Firman Tuhan sendiri mengajarkan kepada kita bahwa ’segala sesuatu’ ini maksudnya adalah pengajaran Kristus yang disampaikan oleh para rasul secara lisan dan tulisan (lih. 2 Tes 2:15). Inilah sebabnya mengapa Gereja Katolik memegang tidak hanya Kitab Suci yang merupakan ajaran tertulis, tetapi juga Tradisi Suci yang merupakan ajaran lisan dari Kristus dan para rasul, seperti yang diteruskan oleh para Bapa Gereja.

6. Menaati segala perintah Allah membawa kita kepada Gereja yang didirikan Kristus.

Jika kita mau menerima pengajaran para rasul dan para Bapa Gereja, maka kita akan mengetahui bahwa Kristus yang mendirikan Gereja-Nya di atas Rasul Petrus (Mat 16:18-19), masih terus berkarya di dalam Gereja-Nya yang kini ada di Gereja Katolik. Maka tepatlah jika dikatakan bahwa kita menjadi Katolik karena kita mau menjadi seorang Kristen yang memberi kata “Ya” pada Kristus tanpa syarat. Sebab Kristus telah mendirikan Gereja-Nya, maka keataatan yang penuh kepada-Nya membawa kita juga untuk memasuki dan menjadi anggotanya.[2] Kristus masih secara aktif memberikan rahmat- rahmat-Nya melalui sakramen- sakramen Gereja. Walaupun benar bahwa di luar sakramen tersebut Ia tetap dapat berkarya, namun tak dapat dipungkiri bahwa sakramen tersebut merupakan cara yang dipilih-Nya untuk hadir di tengah umat-Nya oleh kuasa Roh Kudus. Memang setiap umat Kristen memiliki kehendak bebas tentang bagaimana caranya ia menaati semua ajaran Kristus. Bagi umat Katolik, kita memilih untuk bergabung dalam Gereja yang didirikan-Nya, yang sampai saat ini melaksanakan cara- cara yang dipilih Kristus untuk menyampaikan rahmat-Nya, melalui Sabda-Nya dan Sakramen- sakramen-Nya. Dengan menerima rahmat Tuhan ini, terutama dalam Ekaristi, kita sungguh- sungguh hidup di dalam Kristus, sebab Tuhan Yesus sungguh hadir dan masuk ke dalam diri kita. Kita menaruh pengharapan, bahwa dengan setia mengandalkan rahmat dari Kristus sendiri, maka kita akan dimampukan oleh-Nya untuk bertumbuh di dalam iman, pengharapan dan kasih. Agar akhirnya, kita dapat menerima penggenapan akan janji keselamatan dan bersatu selamanya dengan Dia dalam kerajaan Surga.

7. Mengambil bagian dalam ketiga Misi Kristus sebagai imam, nabi dan raja [15]

Setelah dibaptis, kita menjalani ketiga peran Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Peran imam di sini bukan berarti bahwa setelah dibaptis kita semua menjadi pastor/ imam, melainkan bahwa kita mengambil bagian dalam imamat Kristus (Why 1:6) sebagai bangsa pilihan Allah, imamat yang rajani (1 Pet 2:9). Partisipasi dalam imamat Kristus ini diwujudkan dalam dua macam peran yang saling berkaitan, yang pertama adalah imamat bersama/ common priesthood, dan yang kedua adalah imamat jabatan/ hirarchical priesthood.[16] Mereka yang menjabat sebagai imam bertugas melayani umat yang oleh Pembaptisan menerima peran imamat bersama.

Perwujudan peran imamat ini mencapai puncaknya di dalam sakramen-sakramen, terutama perayaan Ekaristi. Para imam mengajar umatNya, dan bertindak atas nama Kristus dalam perayaan Ekaristi, dan mempersembahkan kurban Ekaristi kepada Tuhan atas nama umat. Sedangkan umat menjalankan peran imamat mereka dengan menggabungkan kurban mereka dengan kurban Kristus. Selanjutnya, mereka semua menjalankan peran imamat mereka dengan menerima sakramen-sakramen, dengan doa dan ucapan syukur, dengan hidup kudus melalui mati raga dan berbuat kasih.[17] Jika kita menghayati peran imamat bersama, maka seharusnya kita dapat lebih menghayati keterlibatan kita di dalam sakramen-sakramen, terutama pada perayaan Ekaristi, karena pada saat itulah kita mempersembahkan diri kita sebagai bagian dari persembahan Kristus kepada Allah Bapa. Persembahan kita ini berupa ucapan syukur, segala suka duka dan pergumulan yang sedang kita hadapi, maupun segala pengharapan yang kita miliki. Keterlibatan ini menjadikan kita sebagai bagian dari Sang Pelaku utama yaitu Kristus, dan bukan hanya sebagai ‘penonton’ Misteri Paska.

Selain sebagai imam, kita yang sudah dibaptis mengambil bagian di dalam peran Kristus sebagai nabi, dengan cara, berpegang teguh pada iman, memperdalam iman kita, dan menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia.[18] Di sinilah kita dipanggil untuk mewujudkan iman di dalam perbuatan, sehingga dapat menjadi kesaksian yang hidup akan pengajaran Kristus.

Akhirnya, Pembaptisan juga mengakibatkan kita mengambil peran Kristus sebagai raja, yang tidak sama dengan pengertian raja menurut dunia. Sebagai Raja, Kristus menarik manusia kepada-Nya melalui kematian dan kebangkitanNya. Sebagai pengikut Kristus, kitapun dipanggil untuk membawa banyak orang kepada Kristus. Selanjutnya, sebagai Raja, Kristus datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani, maka panggilan kita sebagai raja adalah untuk melayani Dia di dalam sesama terutama di dalam mereka yang miskin dan menderita, sebab di dalam merekalah Gereja melihat wajah Sang Kristus, yang menderita. Peran raja inipun kita jalankan dengan mengalahkan segala bentuk kecenderungan berbuat dosa.

Kesimpulan

Maka tujuan kita menjadi Kristen adalah agar kita dapat hidup menjadi seperti Kristus, dan turut mengambil bagian di dalam rencana keselamatan Allah yang diberikan kepada dunia melalui Kristus dan Gereja-Nya. Caranya ialah dengan mengambil bagian dalam misi Kristus, sebagai imam, nabi dan raja. Dengan hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai murid Kristus, yaitu hidup di dalam iman, pengharapan dan kasih yang melimpah/ “superabundant” dan mengandalkan rahmat Allah, maka kita akan dapat diubah sedikit demi sedikit oleh Allah untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus. Kita melaksanakan peran imamat bersama dengan peran serta kita dalam doa dan sakramen Gereja; peran kenabian dengan menjadi saksi Kristus dalam kehidupan sehari- hari; dan peran sebagai raja dengan melayani sesama dan berjuang mengalahkan segala kecenderungan dosa dalam hidup kita. Dalam menjalankan ketiga misi ini, kita mengandalkan rahmat Allah. Rahmat Allah ini secara khusus dapat kita terima melalui Sabda-Nya dan sakramen- sakramen Gereja, terutama Ekaristi. Di sinilah kita melihat pentingnya kita bergabung di dalam Gereja Katolik yang didirikan oleh Kristus sendiri, sebab Gereja Katolik menyampaikan Sabda Allah, baik secara lisan dan tulisan; dan menyampaikan sakramen- sakramen untuk meneruskan rahmat Allah kepada umat-Nya.

Maka marilah kita semua hidup seperti Kristus, yang ditandai dengan hidup dalam kasih yang melimpah kepada Allah dan sesama, atau ringkasnya, hidup dalam kekudusan. Jika kita para murid Kristus telah dapat hidup sesuai dengan ajaran Kristus ini, maka kita dapat menjadi terang dan garam dunia, untuk membawa orang- orang di sekitar kita kepada Kristus yang menyelamatkan. Semoga dengan demikian kita dapat membawa perubahan yang positif kepada dunia, sambil menantikan penggenapan janji Tuhan akan ‘langit dan bumi yang baru’ di kehidupan yang akan datang.

Katekis: Pelaksana tugas Gereja mengajar

Katekis: Pelaksana tugas Gereja mengajar


1. Panggilan hidup sebagai Katekis

Siapa itu katekis? Katekis adalah semua umat beriman kristiani, baik klerus maupun awam yang dipanggil dan diutus oleh Allah menjadi seorang pewarta Sabda Allah. Dengan kata lain profesi kehidupan seorang katekis adalah mengajar, mewartakan Sabda Allah. Kita harus menyadari bahwa pewartaan Sabda Allah adalah bagian penting dari tugas pokok Gereja. Pewartaan Sabda Allah adalah juga tugas pokok dari semua umat beriman sebagai murid-murid Kristus. Hal itu diperintahkan oleh Kristus kepada murid-muridNya: “Pergilah jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28,19). Lebih jelas dan terang lagi dalam Markus 16, 15-16: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum”. Dari apa yang telah dijelaskan di atas jelas bahwa seorang katekis tidaklah harus seorang awam, kleruspun adalah katekis. Pastor paroki adalah katekis utama (katekis dari para katekis) dalam parokinya yang bertugas mengajar agama dan moral kristiani kepada umat yang dipercayakankan kepadanya. Sangat disayangkan, tidak banyak Pastor atau katekis yang bekerja di Paroki tekun dalam pengajaran bagi umat (katekese bagi anak-anak, remaja, mudika, orang tua, pembinaan umat tahap mistagogi sesudah komuni pertama, pembinaan keluarga pasca perkawinan tidak terurus). Katekese hanya sebatas pendalaman iman pada masa Prapaskah (APP) dan masa Advent (AAP) saja, bukan menjadi kegiatan rutin bulanan..

Pada hal dalam Hukum Gereja, tugas mengajar adalah bagian penting dan utama dari Gereja di tengah dunia seperti tercantum dalam Buku III, dengan judul “Tugas Gereja Mengajar”.

Kan. 747, # 1: “Kepada Gereja dipercayakan oleh Kristus Tuhan khazanah iman agar Gereja dengan bantuan Roh Kudus menjaga kebenaran yang diwahyukan tanpa cela, menyelidikinya secara lebih mendalam serta memaklumkannya dan menjelaskannya dengan setia. Gereja mempunyai tugas dan hak asasi untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa, pun dengan alat-alat komunikasi sosial yang dimiliki Gereja sendiri, tanpa tergantung dari kekuasaan insani manapun juga.

# 2. Berwenang untuk selalu dan di mana-mana memaklumkan asas-asas kesusilaan, pun yang menyangkut tata-kemasyarakatan dan untuk membawa suatu penilaian tentang segala hal-ikhwal insani, sejauh hak-hak asasi manusia atau keselamatan menuntutnya”.

Panggilan menjadi Katekis adalah panggilan luhur yakni mengambilbagian dalam tugas pengajaran Yesus Kristus di dunia sebagai guru/nabi. Katekis di Paroki tidaklah selalu formal yakni mereka yang memiliki ijazah bidang studi keteketik tetapi umat awam yang memiliki semangat belajar dan mampu mengajarkan iman katolik secara baik dan benar juga dapat menjadi katekis Paroki.

2. Tugas pokok seorang Katekis

Berbicara tentang tugas pokok katekis, dapat kita lihat dalam uraian KHK, 1983 kan. 773: “Menjadi tugas khusus dan berat, terutama bagi para gembala rohani, untuk mengusahakan katekese umat kristiani agar iman kaum beriman melalui pengajaran agama dan melalui pengalaman kehidupan kristiani, menjadi hidup, disadari dan penuh daya”.

1. Mewartakan Sabda Allah

Jelas dalam teks tersebut tercantum tugas pokok katekis adalah mewartakan Sabda Allah melalui pengajaran agama (katekese), membagi pengalaman hidup kristiani, dan penghayatan hidup beriman. Katekis bersama Pastor paroki yang juga katekis bertugas mengajar iman umat Allah yang dipercayakan kepadanya. Bukan saja bagi para orang tua tetapi mulai dari anak-anak sampai dengan kakek-nenek, semua usia, semua golongan. Itulah yang disebut dengan Bina Iman yang berkesinambungan. Sering Pastor sibuk dan kurang memberikan waktu bagi pembinaan, maka katekislah yang mengajar umat beriman. Mengajar umat beriman bukan saja dengan kata-kata melainkan dituntut kesaksian hidup dari seorang katekis.

2. Memberi Kesaksian

Pengajaran adalah proses pengalihan ilmu, ajaran, ide, gagasan, informasi, pokok pikiran, pengalaman kepada seseorang anak didik (pendengar). Proses pentransferan itu adalah agar anak didik (pendengar) setelah menerima pengajaran memahami apa yang diajarkan oleh gurunya dan menerima materi pengajaran itu sebagai miliknya. Katekese adalah sebuah proses pengajaran agama dan moral kristiani kepada umat. Tujuannya adalah agar umat beriman semakin diteguhkan imannya, diperkaya, dibaharui sehingga mampu menjadi saksi dari ajaranNya. Tujuan pengajaran agama itu tercapai bila katekis tidak hanya memberi pengetahuan ajaran, informasi, gagasan melainkan juga kesaksian hidup dari katekisnya. Orang akan lebih mudah menerima pengajaran agama dengan contoh, kesaksian hidup dari pada hanya ajaran, ide, gagasan saja. Hendaknya apa yang diajarkan sesuai dengan apa yang dipraktekkan dalam kehidupan oleh katekis sendiri. Bukan sebaliknya, kesaksian hidup seorang katekis menjadi batu sandungan bagi umat beriman atau bagi calon baptis. Karena itu, seorang katekis memiliki spiritualitas yang utuh dan dewasa berfungsi seperti seorang gembala.

Dengan kata lain, kesaksian hidup katekis/guru agama adalah penting bagi umat beriman. Oleh karena itu dibutuhkan keselarasan antara pengajaran dan praktek hidup. Untuk itu, sikap yang dituntut seorang katekis/guru agama adalah mengamalkan apa yang diajarkan kepada umat beriman. Dia harus memberi contoh hidup apa yang diajarkan kepada umatnya. Bukan sebaliknya justru menjadi batu sandungan dan menghalangi umat beriman untuk mengetahui tentang ajaran kristiani dan mengenal Yesus Kristus sebagai Tuhan dan penyelamat.

3. Spiritualitas seorang Katekis

Spiritualitas seorang katekis bersumber pada katekis ulung dan sejati kita yakni Yesus Kristus. Dialah Guru sejati, sang gembala agung yang mengajar dengan sempurna baik perkataan dan perbuatan kepada umat-Nya.

1. Kesetiaan terhadap Sabda Allah

Kristus menyerahkan diri kepada para rasul (Gereja) misi untuk mewartakan Kabar Baik kepada semua bangsa. Pewartaan kabar baik kepada semua bangsa dengan menyalurkan iman, menyingkapkan, dan mengalami panggilan kristiani. Supaya pelayanan Sabda sungguh kena sasaran, katekis hendaknya menyadari konteks kehidupan umat dan kesaksian hidupnya. Hendaklah katekis memperhatikan pewartaan eksplisit misteri Kristus kepada umat beriman, kepada mereka yang tidak percaya dan bukan Kristiani. Kesadaran mutlak perlunya bertumpu pada Sabda Allah dan tetap setia terhadap Sabda Allah, tradisi Gereja, untuk menjadi murid-murid Kristus yang sejati dan mengenal kebenaran (bdk. Yoh. 8:31-32).

2. Sabda dan kehidupan

Kesadaran akan misinya sendiri untuk mewartakan Injil selalu harus diungkapkan secara konkret dalam hidup berpastoral bagi seorang katekis. Pelbagai situasi kehidupan berparoki sebagai tempat pelayanan dilaksanakan akan hidup dalam terang Sabda Allah. Para katekis/guru agama hendaknya senantiasa hidup dalam Sabda Allah. Semangat hidup itu didorong oleh Rasul Paulus yang berseru: “Celakalah aku, kalau tidak mewartakan Injil” (I Kor. 9:16), para katekis hendaknya tahu bagaimana memanfaatkan seluruh sarana dan media komunikasi untuk mewartakan Sabda Allah. Pewartaan Sabda Allah begitu mendesak karena masih begitu banyak orang belum mengenal Kristus. Hal itu mencerminkan seruan Paulus: “Bagaimana mereka dapat percaya akan Dia (Yesus Kristus Tuhan), jika mereka tidak mendengar tentang Dia? Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakanNya?” (Rom. 10:4).

3. Sabda dan Katekese

Katekese memainkan peranan penting sekali dalam misi pewartaaan Injil, upaya yang utama untuk mengajarkan dan mengembangkan iman (bdk. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik; “Catechesi Tradendae” tgl. 16 Oktober 1979, AAS, 71, 1979). Para katekis termasuk di dalamnya Imam (katekis) rekan kerja Uskup hendaknya mengkoordinasi dan membimbing kegiatan katekese jemaat yang dipercayakan kepadanya. Sebagai guru dan pembina iman, Imam dan katekis/guru agama hendaknya menjamin agar katekismus, khususnya berkenan dengan sakramen-sakramen, merupakan bagian utama pendidikan Kristiani jekuarga dan pelajaran agama.

4. Penutup

Gereja lokal akan kokoh kuat jika iman umat beriman juga kuat. Iman akan kuat jika ada katekese, pengajaran/pembinaan iman jemaat secara berkesinambungan dan berjenjang (mistagogi). Meskipun demikian tugas ini kadang tidak dijalankan. Pada hal inilah tugas utama Gereja: mewartakan Injil kabar gembira kepada semua bangsa. Oleh karena itu melalui semangat kanon 747 dan 773, para katekis hendaknya melayani tanpa pamrih, berkorban, mengutamakan pelayanan kepada umat, mampu bekerjasama dengan Pastor Paroki, bekerjasama dengan umat agar pelayanan iman dan kehidupan rohani umat dapat terurus dengan baik. Pembinaan bagi para katekis oleh komisi Kateketik di tingkat keuskupan sudah merupakan tuntutan, demi peningkatan mutu/kualitas para katekis dan pembaharuan diri dalam pelayanan dan pewartaannya.

Mengapa umat Katolik mohon dukungan doa kepada orang-orang Kudus yang sudah meninggal dunia?

Mengapa umat Katolik mohon dukungan doa kepada orang- orang kudus yang sudah meninggal dunia?

Dalam 1 Tim 2:1-2 Rasul Paulus mengajarkan agar kita “menaikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang”. Jadi yang melakukan doa syafaat/ pengantaraan bukan saja hanya Kristus dan Roh Kudus, namun kita semua diundang untuk berdoa syafaat, saling mendoakan satu sama lain. Para beriman atau semua orang kudus diajar untuk berdoa atau berdoa syafaat, dan ini diajarkan dalam 32 ayat yang lain dalam Perjanjian Baru. Namun tentu saja doa syafaat kita ini hanya dapat terjadi karena Pengantaraan Kristus yang satu-satunya (lih. 1 Tim 2:5) itu, dan tidak bisa terlepas dari Kristus. Gereja Katolik percaya bahwa Kristus berdoa syafaat bagi kita kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus, seperti secara sempurna terlihat dalam Perayaan Ekaristi/ Misa Kudus. Misa kudus diadakan di dalam nama Kristus, dan tidak pernah dinyatakan di dalam nama Maria atau nama para kudus/ Santa/ Santo.

Masalahnya, ada banyak orang menganggap bahwa para orang kudus (Santa/ santo) yang sudah meninggal sudah tidak ada hubungannya dengan orang- orang yang masih hidup di dunia, karena mereka sudah “mati”/ tidak bernafas. Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci mengajarkan bahwa para kudus yang sudah meninggal itu tidak mati, melainkan tetap hidup. Sebab yang mati hanya tubuhnya, tetapi jiwa orang- orang kudus tersebut tetap hidup bersama Tuhan, karena itulah yang dijanjikan oleh Kristus sendiri dalam Rom 8:11, Yoh 3: 16; Yoh 6:58 maupun Yoh 8:51. Maka “mati” di sini artinya bukan tidak bernafas, melainkan tidak mempunyai hidup di dalam Kristus. Dalam perikop Roti Hidup (Yoh 6) ini, kita percaya bahwa orang-orang beriman yang di surga adalah tetap orang-orang kudus yang hidup, karena Kristus, Sang Roti Hidup, telah memberi kehidupan kekal kepada mereka (lih. Yoh 6:54).

Memohon dukungan doa dari para orang kudus berbeda dengan pemanggilan arwah orang mati yang dikecam di kitab Perjanjian Lama, yang bertujuan untuk meminta informasi ilahi dari jiwa- jiwa yang sudah meninggal. Pada saat Saul memohon kepada arwah Samuel (1 Sam 28), ia tidak memohon agar Samuel mendoakan dia (sebab jika demikian itu baik dan tidak dilarang), tetapi ia mencari informasi tentang hasil pertempuran yang akan terjadi (semacam ramalan), dan inilah yang dilarang Allah. Karena melalui ramalan, sebenarnya seseorang tidak lagi menghormati Allah sebagai Penyelenggara Ilahi yang mengetahui segala sesuatu dan menghendaki segala yang terbaik terjadi bagi umat-Nya.

Selanjutnya, karena kita percaya bahwa kematian akan membawa kita kepada kehidupan bersama Kristus, melihat Dia dalam keadaan yang sesungguhnya dan menjadi serupa dengan-Nya (lih. 1 Yoh 3:2), maka di surga para kudus sebagai Tubuh Kristus akan melakukan juga apa yang dilakukan oleh Kristus Sang Kepala, yaitu mendoakan orang-orang lain yang masih berziarah di dunia (lih. Why 5:8; Why 8:3-4). Doa- doa para kudus ini sangat besar kuasanya karena mereka sudah dibenarkan Kristus (lih. Yak 5:16). Para orang kudus itu bukan saingan Kristus, melainkan rekan sekerja Kristus (1 Kor 3:9), dan karena itu, mereka juga adalah sahabat-sahabat kita, karena kita diikat oleh kasih Kristus menjadi satu Tubuh. Dalam satu kesatuan Tubuh Kristus ini, kita percaya bahwa “tidak ada suatu kuasa-pun yang mampu memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada di dalam Kristus Yesus Tuhan kita.” (Rom 8:38-39). Dengan demikian, kita dapat memohon agar mereka mendoakan kita yang masih berziarah di dunia ini, sama seperti kita memohon dukungan doa dari sesama umat beriman yang masih hidup di dunia ini.

Dasar Alkitab:

  • 1 Tim 2:1-2: Ajaran untuk menaikkan doa syafaat bagi semua orang
  • 1 Tim 2:5: Yesus satu- satunya Pengantara kepada Bapa
  • Rom 8:11: Roh Kristus yang membangkitkan Kristus akan menghidupkan kita
  • Yoh 3: 16: Yang percaya pada Kristus beroleh hidup kekal
  • Yoh 6:54, 6:58: Yang makan Roti Hidup [dan minum darahNya] akan hidup selamanya
  • Yoh 8:51: Yang menuruti firman Kristus tidak akan mengalami maut
  • Yoh 6:54: Yang makan daging-Nya dan minum darah-Nya, mempunyai hidup kekal
  • 1 Yoh 3:2: Kelak kita akan menjadi sama seperti Kristus
  • Why 5:8; Why 8:3-4: Doa syafaat para tua-tua di surga
  • Yak 5:16: Doa orang benar besar kuasanya
  • 1 Kor 3:9: Kita adalah kawan sekerja Kristus
  • Rom 8:38-39: Maut tidak memisahkan kita dari kasih Kristus

Dasar Tradisi Suci:

a) Clement of Alexandria [150-215 AD] The Stromata (Book VII)
In this way is he [the true Christian] always pure for prayer. He also prays in the society of angels, as being already of angelic rank, and he is never out of their holy keeping; and though he pray alone, he has the choir of the saints standing with him [in prayer]” (Miscellanies 7:12 [A.D. 208]).

b) Origen [185-254 AD] De Principiis (Book IV)
But not the high priest [Christ] alone prays for those who pray sincerely, but also the angels . . . as also the souls of the saints who have already fallen asleep” (Prayer 11 [A.D. 233]).

c) Cyprian of Carthage [200-270 AD] Epistle 7
Let us remember one another in concord and unanimity. Let us on both sides [of death] always pray for one another. Let us relieve burdens and afflictions by mutual love, that if one of us, by the swiftness of divine condescension, shall go hence first, our love may continue in the presence of the Lord, and our prayers for our brethren and sisters not cease in the presence of the Father’s mercy” (Letters 56[60]:5 [A.D. 253]).

d) Ephraim the Syrian, St [306-373 AD] The Nisibene Hymns
You victorious martyrs who endured torments gladly for the sake of the God and Savior, you who have boldness of speech toward the Lord himself, you saints, intercede for us who are timid and sinful men, full of sloth, that the grace of Christ may come upon us, and enlighten the hearts of all of us so that we may love him” (Commentary on Mark [A.D. 370]).

e) Basil the Great, St [329-379 AD] Letter 243
By the command of your only-begotten Son we communicate with the memory of your saints … by whose prayers and supplications have mercy upon us all, and deliver us for the sake of your holy name” (Liturgy of St. Basil [A.D. 373]).

f) Gregory of Nyssa [325-386 AD] On the Baptism of Christ (Sermon for the Day of Lights)
[Ephraim], you who are standing at the divine altar [in heaven] . . . bear us all in remembrance, petitioning for us the remission of sins, and the fruition of an everlasting kingdom” (Sermon on Ephraim the Syrian [A.D. 380]).

g) Gregory Nazianzen, St [325-389 AD] Oration 18
Yes, I am well assured that [my father’s] intercession is of more avail now than was his instruction in former days, since he is closer to God, now that he has shaken off his bodily fetters, and freed his mind from the clay that obscured it, and holds conversation naked with the nakedness of the prime and purest mind …” (ibid., 18:4).

h) Gregory Nazianzen, St [325-389 AD] Oration 41
May you [Cyprian] look down from above propitiously upon us, and guide our word and life; and shepherd this sacred flock … gladden the Holy Trinity, before which you stand” (Orations 17 [24] [A.D. 380]).

i) John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 8 on Romans
When you perceive that God is chastening you, fly not to his enemies . . . but to his friends, the martyrs, the saints, and those who were pleasing to him, and who have great power [in God]” (Orations 8:6 [A.D. 396]).

j) John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 26 on Second Corinthians
He that wears the purple [i.e., a royal man] . . . stands begging of the saints to be his patrons with God, and he that wears a diadem begs the tentmaker [Paul] and the fisherman [Peter] as patrons, even though they be dead” (Homilies on Second Corinthians 26 [A.D. 392]).

k) Jerome, St [347-420 AD] To Pammachius Against John of Jerusalem
You say in your book that while we live we are able to pray for each other, but afterwards when we have died, the prayer of no person for another can be heard. . . . But if the apostles and martyrs while still in the body can pray for others, at a time when they ought still be solicitous about themselves, how much more will they do so after their crowns, victories, and triumphs?” (Against Vigilantius 6 [A.D. 406]).

l) Augustine of Hippo, St [354-430 AD] The City of God (Book VIII)
A Christian people celebrates together in religious solemnity the memorials of the martyrs, both to encourage their being imitated and so that it can share in their merits and be aided by their prayers” (Against Faustus the Manichean [A.D. 400]).

m) Augustine of Hippo, St [354-430 AD] The City of God (Book XX)
Neither are the souls of the pious dead separated from the Church which even now is the kingdom of Christ. Otherwise there would be no remembrance of them at the altar of God in the communication of the Body of Christ” (The City of God 20:9:2 [A.D. 419]).

n) Augustine of Hippo, St [354-430 AD] The City of God (Book XXII)
There is an ecclesiastical discipline, as the faithful know, when the names of the martyrs are read aloud in that place at the altar of God, where prayer is not offered for them. Prayer, however, is offered for the dead who are remembered.” (Sermons 159:1 [A.D. 411]).

o) Augustine of Hippo, St [354-430 AD] Tractate 84 (John 15:13)
At the Lord’s table we do not commemorate martyrs in the same way that we do others who rest in peace so as to pray for them, but rather that they may pray for us that we may follow in their footsteps” (Homilies on John 84 [A.D. 416]).

Dasar Magisterium Gereja:

  • KGK 955 “Persatuan mereka yang sedang dalam perjalanan dengan para saudara yang sudah beristirahat dalam damai Kristus, sama sekali tidak terputus. Bahkan menurut iman Gereja yang abadi diteguhkan karena saling berbagi harta rohani” (LG 49).
  • KGK 956 Doa syafaat para kudus. “Sebab karena para penghuni surga bersatu lebih erat dengan Kristus, mereka lebih meneguhkan seluruh Gereja dalam kesuciannya; mereka menambah keagungan ibadat kepada Allah, yang dilaksanakan oleh Gereja di dunia; dan dengan pelbagai cara mereka membawa sumbangan bagi penyempurnaan pembangunannya. Sebab mereka, yang telah ditampung di tanah air dan menetap pada Tuhan, karena Dia, bersama Dia, dan dalam Dia, tidak pernah berhenti menjadi pengantara kita di hadirat Bapa, sambil mempersembahkan pahala-pahala, yang telah mereka peroleh di dunia, melalui Pengantara tunggal antara Allah dan manusia yakni: Kristus Yesus. Demikianlah kelemahan kita amat banyak dibantu oleh perhatian mereka sebagai saudara” (LG 49).
    “Jangan menangis, sesudah saya mati saya akan lebih berguna bagi kamu dan akan menyokong kamu secara lebih baik daripada selama saya hidup” (Dominikus, dalam sakratul maut kepada sama saudara seserikat) Bdk. Jordan dari Sachsen, lib. 93.
    “Saya akan mengisi kehidupan saya di surga dengan melakukan yang baik di dunia” (Teresia dari Anak Yesus, verba).
  • KGK 957 Persekutuan dengan para orang kudus. “Kita merayakan kenangan para penghuni surga bukan hanya karena teladan mereka. Melainkan lebih supaya persatuan segenap Gereja dalam Roh diteguhkan dengan mengamalkan cinta kasih persaudaraan. Sebab seperti persekutuan kristiani antara para musafir mengantarkan kita untuk mendekati Kristus, begitu pula keikut-sertaan dengan para kudus menghubungkan kita dengan Kristus, yang bagaikan Sumber dan Kepala mengalirkan segala rahmat dan kehidupan Umat Allah sendiri” (LG 50).
    “Kita menyembah Kristus karena Ia adalah Putera Allah. Tetapi para saksi iman, kita kasihi sebagai murid dan peniru Tuhan dan karena penyerahan diri yang tidak ada tandingannya kepada raja dan guru mereka. Semoga kita juga menjadi teman dan sesama murid mereka” (Polikarpus, mart. 17).

Mengapa umat Katolik mohon dukungan doa kepada orang-orang Kudus yang sudah meninggal dunia?

Mengapa umat Katolik mohon dukungan doa kepada orang- orang kudus yang sudah meninggal dunia?

Dalam 1 Tim 2:1-2 Rasul Paulus mengajarkan agar kita “menaikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang”. Jadi yang melakukan doa syafaat/ pengantaraan bukan saja hanya Kristus dan Roh Kudus, namun kita semua diundang untuk berdoa syafaat, saling mendoakan satu sama lain. Para beriman atau semua orang kudus diajar untuk berdoa atau berdoa syafaat, dan ini diajarkan dalam 32 ayat yang lain dalam Perjanjian Baru. Namun tentu saja doa syafaat kita ini hanya dapat terjadi karena Pengantaraan Kristus yang satu-satunya (lih. 1 Tim 2:5) itu, dan tidak bisa terlepas dari Kristus. Gereja Katolik percaya bahwa Kristus berdoa syafaat bagi kita kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus, seperti secara sempurna terlihat dalam Perayaan Ekaristi/ Misa Kudus. Misa kudus diadakan di dalam nama Kristus, dan tidak pernah dinyatakan di dalam nama Maria atau nama para kudus/ Santa/ Santo.

Masalahnya, ada banyak orang menganggap bahwa para orang kudus (Santa/ santo) yang sudah meninggal sudah tidak ada hubungannya dengan orang- orang yang masih hidup di dunia, karena mereka sudah “mati”/ tidak bernafas. Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci mengajarkan bahwa para kudus yang sudah meninggal itu tidak mati, melainkan tetap hidup. Sebab yang mati hanya tubuhnya, tetapi jiwa orang- orang kudus tersebut tetap hidup bersama Tuhan, karena itulah yang dijanjikan oleh Kristus sendiri dalam Rom 8:11, Yoh 3: 16; Yoh 6:58 maupun Yoh 8:51. Maka “mati” di sini artinya bukan tidak bernafas, melainkan tidak mempunyai hidup di dalam Kristus. Dalam perikop Roti Hidup (Yoh 6) ini, kita percaya bahwa orang-orang beriman yang di surga adalah tetap orang-orang kudus yang hidup, karena Kristus, Sang Roti Hidup, telah memberi kehidupan kekal kepada mereka (lih. Yoh 6:54).

Memohon dukungan doa dari para orang kudus berbeda dengan pemanggilan arwah orang mati yang dikecam di kitab Perjanjian Lama, yang bertujuan untuk meminta informasi ilahi dari jiwa- jiwa yang sudah meninggal. Pada saat Saul memohon kepada arwah Samuel (1 Sam 28), ia tidak memohon agar Samuel mendoakan dia (sebab jika demikian itu baik dan tidak dilarang), tetapi ia mencari informasi tentang hasil pertempuran yang akan terjadi (semacam ramalan), dan inilah yang dilarang Allah. Karena melalui ramalan, sebenarnya seseorang tidak lagi menghormati Allah sebagai Penyelenggara Ilahi yang mengetahui segala sesuatu dan menghendaki segala yang terbaik terjadi bagi umat-Nya.

Selanjutnya, karena kita percaya bahwa kematian akan membawa kita kepada kehidupan bersama Kristus, melihat Dia dalam keadaan yang sesungguhnya dan menjadi serupa dengan-Nya (lih. 1 Yoh 3:2), maka di surga para kudus sebagai Tubuh Kristus akan melakukan juga apa yang dilakukan oleh Kristus Sang Kepala, yaitu mendoakan orang-orang lain yang masih berziarah di dunia (lih. Why 5:8; Why 8:3-4). Doa- doa para kudus ini sangat besar kuasanya karena mereka sudah dibenarkan Kristus (lih. Yak 5:16). Para orang kudus itu bukan saingan Kristus, melainkan rekan sekerja Kristus (1 Kor 3:9), dan karena itu, mereka juga adalah sahabat-sahabat kita, karena kita diikat oleh kasih Kristus menjadi satu Tubuh. Dalam satu kesatuan Tubuh Kristus ini, kita percaya bahwa “tidak ada suatu kuasa-pun yang mampu memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada di dalam Kristus Yesus Tuhan kita.” (Rom 8:38-39). Dengan demikian, kita dapat memohon agar mereka mendoakan kita yang masih berziarah di dunia ini, sama seperti kita memohon dukungan doa dari sesama umat beriman yang masih hidup di dunia ini.

Dasar Alkitab:

  • 1 Tim 2:1-2: Ajaran untuk menaikkan doa syafaat bagi semua orang
  • 1 Tim 2:5: Yesus satu- satunya Pengantara kepada Bapa
  • Rom 8:11: Roh Kristus yang membangkitkan Kristus akan menghidupkan kita
  • Yoh 3: 16: Yang percaya pada Kristus beroleh hidup kekal
  • Yoh 6:54, 6:58: Yang makan Roti Hidup [dan minum darahNya] akan hidup selamanya
  • Yoh 8:51: Yang menuruti firman Kristus tidak akan mengalami maut
  • Yoh 6:54: Yang makan daging-Nya dan minum darah-Nya, mempunyai hidup kekal
  • 1 Yoh 3:2: Kelak kita akan menjadi sama seperti Kristus
  • Why 5:8; Why 8:3-4: Doa syafaat para tua-tua di surga
  • Yak 5:16: Doa orang benar besar kuasanya
  • 1 Kor 3:9: Kita adalah kawan sekerja Kristus
  • Rom 8:38-39: Maut tidak memisahkan kita dari kasih Kristus

Dasar Tradisi Suci:

a) Clement of Alexandria [150-215 AD] The Stromata (Book VII)
In this way is he [the true Christian] always pure for prayer. He also prays in the society of angels, as being already of angelic rank, and he is never out of their holy keeping; and though he pray alone, he has the choir of the saints standing with him [in prayer]” (Miscellanies 7:12 [A.D. 208]).

b) Origen [185-254 AD] De Principiis (Book IV)
But not the high priest [Christ] alone prays for those who pray sincerely, but also the angels . . . as also the souls of the saints who have already fallen asleep” (Prayer 11 [A.D. 233]).

c) Cyprian of Carthage [200-270 AD] Epistle 7
Let us remember one another in concord and unanimity. Let us on both sides [of death] always pray for one another. Let us relieve burdens and afflictions by mutual love, that if one of us, by the swiftness of divine condescension, shall go hence first, our love may continue in the presence of the Lord, and our prayers for our brethren and sisters not cease in the presence of the Father’s mercy” (Letters 56[60]:5 [A.D. 253]).

d) Ephraim the Syrian, St [306-373 AD] The Nisibene Hymns
You victorious martyrs who endured torments gladly for the sake of the God and Savior, you who have boldness of speech toward the Lord himself, you saints, intercede for us who are timid and sinful men, full of sloth, that the grace of Christ may come upon us, and enlighten the hearts of all of us so that we may love him” (Commentary on Mark [A.D. 370]).

e) Basil the Great, St [329-379 AD] Letter 243
By the command of your only-begotten Son we communicate with the memory of your saints … by whose prayers and supplications have mercy upon us all, and deliver us for the sake of your holy name” (Liturgy of St. Basil [A.D. 373]).

f) Gregory of Nyssa [325-386 AD] On the Baptism of Christ (Sermon for the Day of Lights)
[Ephraim], you who are standing at the divine altar [in heaven] . . . bear us all in remembrance, petitioning for us the remission of sins, and the fruition of an everlasting kingdom” (Sermon on Ephraim the Syrian [A.D. 380]).

g) Gregory Nazianzen, St [325-389 AD] Oration 18
Yes, I am well assured that [my father’s] intercession is of more avail now than was his instruction in former days, since he is closer to God, now that he has shaken off his bodily fetters, and freed his mind from the clay that obscured it, and holds conversation naked with the nakedness of the prime and purest mind …” (ibid., 18:4).

h) Gregory Nazianzen, St [325-389 AD] Oration 41
May you [Cyprian] look down from above propitiously upon us, and guide our word and life; and shepherd this sacred flock … gladden the Holy Trinity, before which you stand” (Orations 17 [24] [A.D. 380]).

i) John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 8 on Romans
When you perceive that God is chastening you, fly not to his enemies . . . but to his friends, the martyrs, the saints, and those who were pleasing to him, and who have great power [in God]” (Orations 8:6 [A.D. 396]).

j) John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 26 on Second Corinthians
He that wears the purple [i.e., a royal man] . . . stands begging of the saints to be his patrons with God, and he that wears a diadem begs the tentmaker [Paul] and the fisherman [Peter] as patrons, even though they be dead” (Homilies on Second Corinthians 26 [A.D. 392]).

k) Jerome, St [347-420 AD] To Pammachius Against John of Jerusalem
You say in your book that while we live we are able to pray for each other, but afterwards when we have died, the prayer of no person for another can be heard. . . . But if the apostles and martyrs while still in the body can pray for others, at a time when they ought still be solicitous about themselves, how much more will they do so after their crowns, victories, and triumphs?” (Against Vigilantius 6 [A.D. 406]).

l) Augustine of Hippo, St [354-430 AD] The City of God (Book VIII)
A Christian people celebrates together in religious solemnity the memorials of the martyrs, both to encourage their being imitated and so that it can share in their merits and be aided by their prayers” (Against Faustus the Manichean [A.D. 400]).

m) Augustine of Hippo, St [354-430 AD] The City of God (Book XX)
Neither are the souls of the pious dead separated from the Church which even now is the kingdom of Christ. Otherwise there would be no remembrance of them at the altar of God in the communication of the Body of Christ” (The City of God 20:9:2 [A.D. 419]).

n) Augustine of Hippo, St [354-430 AD] The City of God (Book XXII)
There is an ecclesiastical discipline, as the faithful know, when the names of the martyrs are read aloud in that place at the altar of God, where prayer is not offered for them. Prayer, however, is offered for the dead who are remembered.” (Sermons 159:1 [A.D. 411]).

o) Augustine of Hippo, St [354-430 AD] Tractate 84 (John 15:13)
At the Lord’s table we do not commemorate martyrs in the same way that we do others who rest in peace so as to pray for them, but rather that they may pray for us that we may follow in their footsteps” (Homilies on John 84 [A.D. 416]).

Dasar Magisterium Gereja:

  • KGK 955 “Persatuan mereka yang sedang dalam perjalanan dengan para saudara yang sudah beristirahat dalam damai Kristus, sama sekali tidak terputus. Bahkan menurut iman Gereja yang abadi diteguhkan karena saling berbagi harta rohani” (LG 49).
  • KGK 956 Doa syafaat para kudus. “Sebab karena para penghuni surga bersatu lebih erat dengan Kristus, mereka lebih meneguhkan seluruh Gereja dalam kesuciannya; mereka menambah keagungan ibadat kepada Allah, yang dilaksanakan oleh Gereja di dunia; dan dengan pelbagai cara mereka membawa sumbangan bagi penyempurnaan pembangunannya. Sebab mereka, yang telah ditampung di tanah air dan menetap pada Tuhan, karena Dia, bersama Dia, dan dalam Dia, tidak pernah berhenti menjadi pengantara kita di hadirat Bapa, sambil mempersembahkan pahala-pahala, yang telah mereka peroleh di dunia, melalui Pengantara tunggal antara Allah dan manusia yakni: Kristus Yesus. Demikianlah kelemahan kita amat banyak dibantu oleh perhatian mereka sebagai saudara” (LG 49).
    “Jangan menangis, sesudah saya mati saya akan lebih berguna bagi kamu dan akan menyokong kamu secara lebih baik daripada selama saya hidup” (Dominikus, dalam sakratul maut kepada sama saudara seserikat) Bdk. Jordan dari Sachsen, lib. 93.
    “Saya akan mengisi kehidupan saya di surga dengan melakukan yang baik di dunia” (Teresia dari Anak Yesus, verba).
  • KGK 957 Persekutuan dengan para orang kudus. “Kita merayakan kenangan para penghuni surga bukan hanya karena teladan mereka. Melainkan lebih supaya persatuan segenap Gereja dalam Roh diteguhkan dengan mengamalkan cinta kasih persaudaraan. Sebab seperti persekutuan kristiani antara para musafir mengantarkan kita untuk mendekati Kristus, begitu pula keikut-sertaan dengan para kudus menghubungkan kita dengan Kristus, yang bagaikan Sumber dan Kepala mengalirkan segala rahmat dan kehidupan Umat Allah sendiri” (LG 50).
    “Kita menyembah Kristus karena Ia adalah Putera Allah. Tetapi para saksi iman, kita kasihi sebagai murid dan peniru Tuhan dan karena penyerahan diri yang tidak ada tandingannya kepada raja dan guru mereka. Semoga kita juga menjadi teman dan sesama murid mereka” (Polikarpus, mart. 17).