Sebagian teman saya memberikan “perpuluhan”, yaitu sepuluh persen dari pendapatan mereka untuk Gereja dan amal kasih. Mereka mengatakan bahwa hal ini `alkitabiah' dan dapat ditemukan dalam Kitab Suci. Mohon penjelasan lebih lanjut mengenai perpuluhan, dan apakah kita wajib memberikan perpuluhan?
~ seorang pembaca di Alexandria
Seperti dinyatakan dalam Katekismus Gereja Katolik (no. 2043), perintah-perintah Gereja memaklumkan bahwa umat beriman juga berkewajiban menyumbangkan untuk kebutuhan material Gereja sesuai dengan kemampuannya. Kitab Hukum Kanonik juga menyatakan, “Kaum beriman Kristiani terikat kewajiban untuk memenuhi kebutuhan Gereja, agar tersedia baginya apa yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan serta amal kasih dan nafkah yang wajar bagi para pelayan rohani” (No. 222). Namun demikian, Gereja tidak memerintahkan suatu “perpuluhan” ataupun menetapkan berapa persen dari pendapatan atau sumber penghasilan lainnya yang harus diberikan.
Pertama kali persepuluhan muncul dalam Kitab Suci dalam Kitab Kejadian ketika Melkisedek, seorang raja dan seorang “imam Allah Yang Mahatinggi,” mempersembahkan kurban roti dan anggur sebagai ucapan syukur atas kemenangan Abraham atas beberapa raja musuh. Sebagai persembahan kepada Tuhan, Abraham memberikan kepada Melkisedek “sepersepuluh dari semuanya” (bdk Kej 14). Namun demikian, persepuluhan ini tidak dipandang sebagai dimulainya suatu bentuk praktek baru, melainkan lebih sebagai menunaikan kebiasaan yang telah ada. Tampaknya, sepersepuluh dari penghasilan biasa diberikan kepada para imam dalam pelayanan mereka kepada Tuhan.
Hukum Taurat menetapkan persembahan persepuluhan. Orang mempersembahkan kepada Tuhan sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladang, dari anggur dan minyak, ataupun dari anak-anak sulung lembu sapi dan kambing domba (Ul 12:17, 14:22-29). Persepuluhan yang demikian merupakan ungkapan bahwa Tuhan telah dengan murah hati menganugerahkan berkat-berkat ini atas manusia, dan manusia sebagai balasannya mempersembahkan suatu kurban syukur sebesar sepersepuluh dari “hasil-hasil pertama.”
Kitab Bilangan juga mencatat bagaimana Tuhan menetapkan bahwa kaum Lewi, golongan imam dari kalangan bangsa Yahudi diserahi kepercayaan atas persepuluhan ini, “Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah Pertemuan” (Bil 18:21-24). Karenanya, persepuluhan ini merupakan sumbangan yang dipersembahkan kepada Tuhan dan dibagi-bagikan di kalangan kaum Lewi untuk menopang hidup mereka.
Menariknya, praktek persepuluhan entah sebagai suatu kurban demi menghormati Tuhan ataupun sebagai suatu pajak pembayaran kepada penguasa, adalah umum di kalangan masyarakat kuno Yunani, Roma, Lidia, Arabia, Babilonia dan Persia. Sebagian ahli kepurbakalaan beranggapan bahwa besarnya sepuluh persen yang menjadi dasar persepuluhan ini adalah karena angka 10 merupakan dasar bagi sistem numerik dan dengan demikian melambangkan totalitas. Oleh sebab Tuhan adalah penguasa totalitas, maka segala berkat yang diterima darinya merupakan anugerah dari Tuhan, dan karenanya sungguh merupakan tindakan syukur yang pantas untuk mengembalikan - sepersepuluhnya - kepada Tuhan.
Dalam sejarah awal Gereja, para imam mengandalkan sumbangan sukarela dari jemaat dalam menunjang kebutuhan mereka. Kebiasaan ini didasarkan pada perintah Perjanjian Baru: Yesus mengajarkan kepada para rasul untuk mengandalkan amal kasih apabila Ia mengutus mereka dalam tugas perutusan, “Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (Mat 10:9-10). St Paulus juga memberikan perintah kepada komunitas Gereja Perdana untuk menyediakan kebutuhan para imam mereka, “Tidak tahukah kamu, bahwa mereka yang melayani dalam tempat kudus mendapat penghidupannya dari tempat kudus itu dan bahwa mereka yang melayani mezbah, mendapat bahagian mereka dari mezbah itu? Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu” (1 Kor 9:13-14). Sumbangan yang demikian, tentu saja, merupakan sumbangan yang sukarela dan dalam batas kemampuan orang.
Namun demikian, seiring perkembangannya, Gereja mengeluarkan ketentuan guna menjamin sumbangan yang demikian, berdasarkan perintah Perjanjian Lama. Ketetapan pertama yang ada dalam catatan ditemukan dalam sepucuk surat para uskup yang mengadakan pertemuan di Tours, Perancis pada tahun 567 dan dalam kanon-kanon Konsili Macon pada tahun 585. Gereja memandang persepuluhan sebagai sesuai dengan hukum ilahi sebab ditetapkan oleh Tuhan Sendiri. Praktek persepuluhan menyebarluas ke seluruh Eropa. Setelah Reformasi Protestan dan kemudian teristimewa Revolusi Perancis, serta berkembangnya gaya hidup sekularisme dalam pemerintahan sipil, ketetapan mengenai persepuluhan tidak lagi diberlakukan. Di Amerika Serikat, dan juga di Indonesia, gereja-gereja Katolik mengandalkan sumbangan sukarela semata.
Walau kita tidak memiliki ketentuan mengenai persepuluhan, namun kita sungguh memiliki kewajiban untuk ikut serta menunjang kebutuhan-kebutuhan Gereja, entah di tingkat internasional, keuskupan ataupun paroki. Tiap-tiap kita hendaknya mengevaluasi apa yang kita lakukan dalam “memberikan kembali kepada Tuhan” lewat sumbangan kita bagi Gereja dan organisasi-organisasi amal kasih. Sebagai contoh, kita patut bertanya, “Apakah aku memberikan kepada Tuhan setiap minggu sekurang-kurangnya sebanyak yang aku belanjakan untuk hiburan, misalnya nonton film? Apakah aku memberikan kepada Tuhan setiap minggu sekurang-kurangnya sebanyak yang aku belanjakan di restoran-restoran?” Pertanyaan yang lebih baik, “Apakah aku memberikan kepada Tuhan setiap minggu sekurang-kurangnya satu jam dari 40 jam kerja?”
diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar