MASA KECIL MASUK SEMINARI RINDU MENJADI SEORANG KUDUS SEORANG BROEDER REDEMPTORIS PENGAKU IMAN BEBERAPA PESAN TUHAN KEPADA MARCEL VAN
MASA KECIL
Yoakim Nguyên Tan Van dilahirkan pada tanggal 15 Maret 1928 di sebuah desa di Vietnam Utara (Tonkin). Ayahnya seorang penjahit, ibunya seorang ibu rumah tangga yang terkadang bekerja di sawah. Ayahnya suka berjudi dan minum. Ibunya seorang Katolik yang saleh, baik, lemah-lembut dan murah hati kepada siapa saja. Van mempunyai dua saudara perempuan, Le - kakaknya, dan Te - adiknya. Van sendiri seorang anak yang lembut dan perasa, baik hati dan penuh kasih. Sejak masih dini usianya, Van menunjukkan kesalehan dan devosi yang mengagumkan. Ia biasa bermain prosesi untuk menghormati Santa Perawan Maria bersama Te, saudara-saudara sepupu dan teman-teman bermainnya. Ia senang berdoa dan mendaraskan rosario bersama ibunya.
Ketika usianya enam tahun, Van diperkenankan menyambut Komuni Kudus yang Pertama. Di kemudian hari ia menulis mengenai hari bahagia ini: “Waktunya telah tiba, saat yang begitu dirindukan telah datang… Dengan hati-hati kujulurkan lidahku untuk menyambut Roti Cinta. Hatiku dikuasai oleh sukacita yang luar biasa… Dalam sekejap, aku telah menjadi seperti “setetes air” yang hilang ditelan samudera luas. Sekarang di sana yang tinggal hanya Yesus, dan aku adalah “bukan apa-apa Yesus yang kecil”. Sejak hari itu, Van menyambut Komuni Kudus setiap hari. Tak lama kemudian, ia menyambut Sakramen Tobat. Suatu kerinduan tumbuh dalam hatinya: “Aku rindu menjadi seorang imam, agar aku dapat mewartakan Kabar Gembira kepada mereka yang belum mengenal Kristus.”
Ketika usianya tujuh tahun, Van mulai bersekolah. Akan tetapi guru sekolahnya sangat keras terhadap para murid, memukuli mereka dengan rotan di setiap kesempatan. Kesehatan Van pun mulai memburuk: “Dari hari ke hari aku semakin kurus dan pucat,” demikian tulis Van dalam otobiografinya, “dan itu karena sistem pendidikan yang sangat keras hingga aku sampai pada keadaan kepayahan yang begitu rupa.”
MASUK SEMINARI
Khawatir akan keadaan puteranya, ibunya mempercayakan Van pada Pastor Yosef Nha, imam paroki di Huu-Bang. Pastor Nha mengelola sebuah “Wisma Tuhan” yang adalah sebuah lembaga di mana anak-anak lelaki mulai mengenyam pelajaran lebih mendalam di bidang agama, sementara melanjutkan pendidikan mereka dan membantu pastor. Yang paling cakap di antara mereka akan diperkenankan melanjutkan pendidikan ke Seminari Rendah. Van sangat senang akan kehidupan barunya ini dan segera menjadi seorang murid yang cemerlang. Akan tetapi, salah seorang gurunya, Guru Vinh, kemudian membawa Van ke sebuah kamar pribadi dan menderanya dengan rotan. Guru Vinh berdalih ia tengah melatih Van dalam apa yang disebutnya sebagai “kehidupan yang sempurna”. Ia mengancam Van untuk merahasiakan hal ini. Dua minggu berlalu ketika akhirnya perempuan tukang cuci pakaian pastor mendapati noda-noda darah di baju Van. Pastor Nha sadar akan apa yang terjadi dan dengan tegas melarang Guru Vinh untuk mendekati Van.
Sesekali Pastor Nha mengajukan Van sebagai teladan bagi para murid katekis yang suam-suam kuku. Hal ini membangkitkan iri dan dengki dalam diri murid-murid yang lain. Mereka mengatur semacam pengadilan guna “mengadili” Van. Setelah mempermalukan Van dengan berbagai macam cara, mereka mengecamnya karena menyambut Komuni Kudus setiap hari. “Hatiku galau dan menderita hebat memikirkan bahwa, tanpa memiliki kepantasan seperti para kudus, aku berani menyambut Komuni setiap hari… Lalu kesalahan-kesalahan dari masa kecilku terbayang kembali.” Dalam pencobaan berat ini, Van bertaut erat pada Bunda Maria dan dengan penuh kekhusukan mendaraskan rosario.
Setiap malam sesudah Ibadat Sore, para murid katekis akan menggelar “pengadilan”, menginterogasi dan mendakwa Van, dan sebagai hukuman mereka akan menderanya dengan rotan atau melucuti pakaiannya. Apabila Pastor Nha tidak berada di tempat, bersama “Guru”, para murid katekis ini kerap minum-minum dan mengundang gadis-gadis tetangga menemani mereka. Pastor Nha sendiri sekarang lebih suka mengalihkan Van dari pelajaran dan menjadikannya pelayan.
Pada masa yang sama ini timbul tragedi di rumah. Banjir hebat menghancurkan serta menghanyutkan sebagian besar harta milik keluarga. Terlebih parah, ayahnya menghabiskan apa yang masih tersisa untuk mabuk dan berjudi. Ibu dan kedua saudari Van hidup di bawah garis kemiskinan; kini ibunya tak lagi mampu mengirimi Van uang ataupun pakaian.
Bersama beberapa teman, Van meninggalkan “Wisma Tuhan” dengan harapan diterima di suatu seminari. Tetapi karena tak menemukan seminari ataupun tempat yang mau menerimanya bekerja, ia terpaksa kembali. Van menghabiskan sebagian besar waktunya dengan melakukan pekerjaan kasar. Ketika usianya duabelas tahun, ia menerima sertifikat, tetapi tidak diijinkan melanjutkan pendidikan. Jadi, ia menghabiskan seluruh waktunya dengan bekerja.
Karena tidak tahan dengan suasana di Wisma - alkohol, judi, kata-kata carut-marut, kehadiran gadis-gadis yang tak tahu malu, pada akhirnya Van melarikan diri dan pulang ke rumah orangtuanya. Tetapi dihimpit kemelaratan, keluarga mengembalikan Van ke Huu-Bang. Dua bulan kemudian Van melarikan diri lagi dan hidup menggelandang sebagai pengemis jalanan. “Sejak saat itu,” tulisnya, “pekerjaanku adalah menadahkan tangan kepada mereka yang lewat… Seminggu hidup secara demikian, kulitku terbakar matahari dan pipiku cekung… Meski demikian aku mendapati hidup sebagai seorang gelandangan miskin ini sama sekali tidak sulit. Sebaliknya, aku merasakan suatu damai sukacita dalam menderita bagi Tuhan. Aku tahu bahwa dengan melarikan diri, aku telah menghindari dosa, aku telah menghindari apa yang mendukakan Hati Allah.”
“Aku mulai menganggap diriku sendiri sebagai makhluk yang hina dina. Iblis membuat pikiran ini berkembang dalam diriku - jika manusia saja tak dapat tahan denganku, bagaimana mungkin Tuhan masih dapat tahan denganku? Aku akan segera mati dan aku akan masuk neraka.” Tetapi, bukannya larut dalam keputusasaan, Van mengarahkan matanya lekat-lekat pada Yesus dan Santa Perawan Maria yang senantiasa merupakan pengharapannya; dan ia pun beroleh pengharapan dan damai melalui rosario yang dengan setia didaraskannya. Suatu hari, ia mendapat kesempatan untuk membuka hatinya kepada seorang imam yang menguatkannya dengan perkataan: “Terimalah segala pencobaan ini dengan sukahati dan persembahkanlah kepada Tuhan. Apabila Tuhan mengirimkan salib kepadamu, itu merupakan suatu tanda bahwa Ia telah memilihmu.”
Syukurlah, pada tahun 1942, atas pertolongan seorang teman, Van diterima di seminari rendah di Lang-Son. Enam bulan kemudian, karena kekurangan dana, seminari ditutup, tetapi Van dapat melanjutkan pendidikannya di Paroki St Theresia dari Kanak-kanak Yesus di Quang-Uyên, dalam bimbingan dua imam Dominikan.
RINDU MENJADI SEORANG KUDUS
“Kendati kerinduanku yang besar untuk mencapai kekudusan, aku yakin bahwa aku tak akan pernah mencapainya, sebab untuk menjadi seorang kudus, orang harus berpuasa, mendera diri dengan cambuk, mengalungi leher dengan batu dan membelenggu diri dengan rantai-rantai berduri, mengenakan pakaian kasar, menahan dingin, kudis dan lain-lain… Allah-ku, jika seperti itu, aku menyerah… Semuanya itu terlalu berat bagiku.”
Suatu hari Van menebarkan banyak buku riwayat hidup santa dan santo di atas meja. Dalam doa ia memohon Tuhan membimbingnya dengan berjanji bahwa ia akan membaca buku apapun yang diraih tangannya. Lalu, dengan mata tertutup ia menempatkan tangannya secara acak. “Aku membuka mataku. Di tanganku ada sebuah buku yang belum pernah aku baca sebelumnya - `Kisah Suatu Jiwa' oleh St Theresia dari Kanak-Kanak Yesus.” [`Kisah Suatu Jiwa' di Indonesia diterbitkan dengan judul `Aku Percaya Akan Cinta Kasih Allah'] Dengan antusias Van membuka lembar-lembar buku itu, namun karena tak ada sesuatu yang luar biasa, ia enggan membacanya. Tetapi segera ia mencela diri, `Ah, dengan bertindak seperti ini, engkau telah melanggar janjimu!' Jadi, aku memungut buku itu kembali dengan kepala sarat pertanyaan yang bercampur-aduk - `Apakah ini “Kisah Suatu Jiwa”??? Siapakah itu St Theresia dari Kanak-kanak Yesus??? Dari mana asalnya??? Apakah yang membuatnya serupa dengan beribu santa / santo lainnya?'”
Sebagaimana dijanjikannya, Van mulai membaca. “Aku baru saja membaca beberapa halaman ketika dua butir airmata mengalir jatuh ke pipi… Apa yang secara mendalam menggerakkanku adalah permenungan Theresia:
`Jika Allah membungkuk hanya pada tingkat bunga-bunga yang paling indah, simbol para Pujangga Kudus, maka Kasih-Nya tak akan begitu sepenuhnya nyata, sebab adalah kodrat Kasih untuk membungkuk hingga ke batas yang paling rendah… Sama seperti matahari menyinari sekaligus pohon-pohon cedar dan setiap bunga kecil seolah dialah satu-satunya yang ada di bumi, demikianlah Tuhan kita memberikan perhatian pada setiap jiwa seolah tak ada jiwa lain sepertinya.”
“Maka mengertilah aku bahwa Allah adalah Kasih… Seperti St Theresia, aku pun dapat menguduskan diri melalui segala perbuatan kecilku… Senyuman, sepatah kata atau tatapan, asalkan semuanya dilakukan dalam kasih. Betapa bahagia!... Mulai dari sekarang, kekudusan tak lagi menakutkanku… Airmataku mengalir bagai mata air yang tiada habis-habisnya.”
“Siang itu aku telah menerima suatu sumber rahmat dan kebahagiaan. `Kisah Suatu Jiwa' telah menjadi sahabat terkasihku dan menyertaiku ke manapun aku pergi, dan aku tiada henti membaca dan membacanya lagi, tanpa pernah merasa jemu. Tiada suatu pun dalam buku ini yang tidak selaras dengan pikiranku, dan yang terlebih lagi menyenangkanku sepanjang membaca buku ini adalah melihat dengan jelas bahwa kehidupan rohani Theresia identik dengan kehidupan rohaniku. Pemikiran-pemikirannya, bahkan `ya atau tidak'-nya sesuai dengan pemikiran-pemikiranku sendiri dan peristiwa-peristiwa kecil dalam hidupku. Sungguh, tak pernah seumur hidupku aku menemukan sebuah buku yang begitu selaras dengan pemikiran dan perasaan-perasaanku sendiri seperti `Kisah Suatu Jiwa'. Dapat kuakui bahwa kisah jiwa Theresia adalah kisah jiwaku….”
Keesokan paginya, Van bangun dan berlutut di hadapan altar Santa Perawan Maria. Ia memanjatkan doa: “… Santa Perawan, Bundaku. Hari ini adalah sungguh hari pertama aku diperkenankan mencicipi kebahagiaan yang manis begitu rupa; hari yang memperkenalkanku pada suatu jalan baru… Mulai dari sekarang, ya Bundaku, sudi bimbinglah aku di jalan baruku; ajarilah aku untuk mengasihi Allah dengan sempurna dan untuk mempersembahkan diriku kepada-Nya dalam kepercayaan penuh. Aku berani mengungkapkan suatu pengharapan kepadamu: Agar kiranya aku dibalut dalam kasihmu, sebagaimana Thereisa dulu, si Bunga Kecil. Aku bahkan berharap engkau memberikan Santa ini kepadaku sebagai pembimbingku dalam `Jalan Kecil'-nya. Oh betapa bahagia jadinya aku sebab aku merasa bahwa hidupku tak dapat terlepas dari perasaan kanak-kanak yang telah Allah pahatkan dalam jiwaku sebagai suatu anugerah lahir.”
Kemudian, berpaling kepada Yesus, ia berdoa: “Ya Yesus, Guru-ku satu-satunya yang terkasih, Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu dan hanya menghendaki menanggapi kehendak-Mu. Engkau telah membangkitkan dalam budiku kerinduan untuk menjadi seorang kudus. Maka, Engkau membuatku menemukan, dengan suatu cara yang amat sederhana, `Jalan Kecil' dengan mana Engkau membimbing St Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Engkau telah menggunakan tangan santa kecil ini untuk menulis demi kepentingan jiwa-jiwa, nasehat-nasehat manis dengan mana Engkau telah menghantarnya di jalan kecilnya. Pada hari ini, aku tahu bahwa Engkau mengasihiku, dan bahwa dalam kasih-Mu yang dahsyat Engkau memperlakukanku sebagai seorang kanak-kanak kecil. Ah, betapa Engkau layak mendapatkan balasan cinta! Mulai dari sekarang aku telah memutuskan untuk mengikuti jejak langkah-Mu sebagaimana Engkau kehendaki, dan agar setiap langkahku selaras dengan kehendak-Mu, aku mohon, ya Tuhan-ku, agar kiranya Engkau menganugerahiku rahmat ini: Berikanlah St Theresia dari Kanak-kanak Yesus sebagai pembimbingku, agar dengan demikian ia dapat mengajariku untuk mengasihi-Mu sebagaimana seharusnya, sebab aku sama sekali bodoh. Anugerahilah juga aku rahmat untuk berkanjang dalam kasih-Mu hingga titik terakhir, sehingga sesudahnya boleh mengasihi-Mu sepanjang kekekalan masa, di tanah air kasih yang diperuntukkan bagi mereka yang mengasihi-Mu.”
Segera sesudah itu, Van berjalan kaki ke sebuah bukit terdekat. Sekonyong-konyong, dalam keheningan, ia dikagetkan oleh suara yang memanggilnya. “Van, Van, adikku terkasih!” Tapi tak ada seorang pun dekatnya! Suara itu kembali memanggil: “Van, Van, adikku terkasih!” “Aku terpana dan sedikit takut, tetapi aku tetap tenang dan segera dapat menebak bahwa suara yang memanggilku ini adalah suara adikodrati - maka aku berteriak atau berseru dalam luapan sukacita - `Oh, saudariku Theresia!' -
`Ya, ini sungguh saudarimu, Theresia… Mulai dari sekarang engkau secara pribadi akan menjadi adikku, sebagaimana engkau telah memilihku untuk menjadi kakakmu… Mulai dari hari ini, kedua jiwa kita akan berpadu menjadi hanya satu jiwa, dalam kasih Allah yang satu… dari saat ini aku akan memberitahukan kepadamu segala pemikiran-pemikiranku yang indah tentang kasih yang muncul dalam masa hidupku, dan yang telah mengubahku dalam kasih Allah yang tak terhingga… adalah Allah Sendiri yang telah mengatur perjumpaan ini. Allah menghendaki pelajaran-pelajaran mengenai kasih yang Ia ajarkan kepadaku sebelumnya dalam rahasia jiwaku, hidup di dunia ini, dan Ia telah berkenan memilihmu sebagai seorang sekretaris kecil untuk melaksanakan karya-Nya, yang seturut kehendak-Nya Ia percayakan kepadamu….”
“… Allah Bapa kita memelihara bahkan detail-detail terkecil dalam hidup kita… Allah adalah Bapa dan Bapa ini adalah Kasih. Kebajikan dan kelembutan-Nya tak terhingga… Tetapi sejak hari leluhur pertama kita jatuh dalam dosa, ketakutan telah menguasai hati manusia dan telah merenggut darinya pemikiran akan Allah yang adalah Bapa kita yang baik tak terhingga… Maka Allah mengutus PutraNya… Yesus datang untuk memberitahukan kepada saudara-saudara-Nya di dunia bahwa kasih Bapa adalah sumber yang tiada habis-habisnya… Kita sungguh teramat beruntung menjadi anak-anak Allah. Marilah kita mengucap syukur atas ini dan tak pernah menyerah pada ketakutan yang berlebihan… Jangan pernah takut pada Allah. Ia sepenuhnya adalah Bapa Mahapengasih. Ia hanya tahu bagaimana mengasihi, dan Ia rindu dikasihi sebagai balasnya… Janganlah takut berbicara akrab kepada Allah seperti kepada seorang sahabat. Katakan kepada-Nya semua yang ada di benakmu - permainan kelerengmu, panjat gunung, olok-olok temanmu, kemarahanmu, airmatamu, atau kesenangan-kesenangan kecil yang datang sekilas….”
“Tetapi kakak, Allah sudah tahu semuanya itu.”
“Benar, adik… Akan tetapi, demi memberi dan menerima cinta, Ia harus membungkuk dan Ia melakukan ini seolah Ia lupa bahwa Ia tahu semuanya, dengan harapan mendengar suatu kata akrab meluncur dari hatimu.”
“Apabila engkau merasakan sukacita, persembahkanlah kepada-Nya sukacita ini yang membesarkan hatimu, dan dengan berbuat demikian engkau akan meneruskan sukacitamu kepada-Nya. Adakah gerangan kebahagiaan yang terlebih besar selain dari pasangan yang saling mengasihi dan berbagi segala yang mereka miliki? Bertindak dengan cara ini terhadap Allah adalah mengatakan `terima kasih' kepada-Nya, yang menyenangkan-Nya lebih dari ribuan madah yang menggetarkan hati. Jika sebaliknya, engkau dikuasai kesedihan, katakan lagi kepada-Nya dengan hati yang jujur: `Ah, Allah-ku, aku sungguh sedih' dan mohon pada-Nya untuk membantumu menerima kesedihan ini dengan sabar. Percayalah ini: Tiada suatu pun yang dapat terlebih menyenangkan Allah yang baik selain dari melihat di dunia ini sebentuk hati yang mengasihi-Nya, dan yang tulus kepada-Nya dalam setiap langkah, dan dalam setiap senyuman; pula dalam setiap airmata, dalam kesenangan-kesenangan kecil sesaat.”
Penampakan pertama St Theresia dari Kanak-kanak Yesus ini berlangsung beberapa waktu lamanya. [Pesan-pesan selengkapnya dapat dibaca dalam “Otobiografi Marcel Van.”]
Sebelum meninggalkan Van dalam penampakan pertama ini, St Theresia mengatakan: “Aku mengasihimu sebab engkau adalah jiwa yang adalah warga sahabat-sahabat Kasih. Bagimu adikku, satu-satunya harapanku adalah melihat digenapinya karya-karya yang begitu dikehendaki Kasih Ilahi bagimu. Jadi, adik, dengarkan aku: mulai sekarang dalam hubunganmu dengan Bapa Surgawi kita, janganlah lalai mentaati nasehatku. Sekarang, hari mulai malam, jadi ijinkan aku mengakhiri percakapan kita sampai di sini, sebab waktu makan telah tiba. Tam dan Hien menantimu, dan Tam sudah mulai tak sabar… Aku memberimu kecupan… Kita akan punya banyak kesempatan untuk berbincang-bincang bersama lagi. Dan kita dapat melakukannya di manapun, tanpa khawatir orang akan mengetahuinya.”
“Theresia berhenti berbicara, dan aku seperti seorang yang bangun dari mimpi; setengah khawatir dan setengah bahagia; dan ketika ia mengatakan `Aku memberimu kecupan', sekonyong-konyong aku merasa seolah suatu hembusan lembut menyentuh wajahku. Dan aku dikuasai sukacita begitu rupa hingga untuk sekejap aku kehilangan kesadaran. Sebagian dari sukacita manis ini masih tinggal bersamaku hingga hari ini, tetapi aku tidak tahu bagaimana membandingkannya dengan tepat.”
St Theresia menjadi sahabat dekat dan pembimbing rohani Van, yang dengan akrab membimbingnya dalam kehidupan rohani.
Sejak dari masa kecil, Van selalu yakin bahwa ia dipanggil untuk menjadi seorang imam. “Untuk itu,” tulis Van, “aku telah berkurban dalam banyak hal dengan membebankan pada diriku banyak perbuatan rohani dan jasmani.” Tetapi suatu hari St Theresia berkata kepadanya,
“Van, adikku, ada suatu hal penting yang perlu kusampaikan kepadamu… Tetapi ini akan membuatmu sangat sedih… Allah telah menyatakan kepadaku bahwa engkau tidak akan menjadi seorang imam.”
Mendengar ini Van mulai menangis, “Aku tak akan pernah bisa hidup jika aku tidak menjadi seorang imam….”
“Van, jika Allah menghendaki kerasulanmu dilaksanakan dalam bidang lain, bagaimanakah pendapatmu?... Apa yang paling sempurna adalah melakukan kehendak Bapa kita di surga… Di atas segalanya kau akan menjadi sorang rasul melalui doa dan kurban, seperti aku sendiri dulu.”
St Theresia lalu mengarahkan pandangan Van pada suatu baris yang amat penting dalam Kisah Suatu Jiwa:
`Aku mengerti bahwa kasih saja yang menempatkan anggota-anggota Gereja dalam karya… Aku mengerti bahwa Kasih mencakup segala panggilan, bahwa Kasih adalah segalanya, yang merengkuh segala waktu dan segala tempat… Singkat kata, bahwa Kasih itu Abadi.”
“Theresia, saudariku, panggilan tersembunyi apakah ini jika aku tidak menjadi imam?”
“Kau akan masuk biara di mana engkau akan membaktikan dirimu kepada Allah.”
SEORANG BROEDER REDEMPTORIS
Suatu malam di musim dingin pada tahun 1942-1943, Van mendapatkan suatu mimpi misterius. “Aku melihat seseorang masuk menuju kepala pembaringanku… Orang ini sepenuhnya terbalut dalam jubah hitam, agak tinggi dan wajahnya mencerminkan kebaikan yang luar biasa… Ia mengajukan pertanyaan kepadaku, `Nak, apakah kau mau…?'Tetapi sebelum pertanyaan berakhir, spontan aku menjawab `Ya.'”
Beberapa hari kemudian, Van mendapati sebuah patung yang sama seperti orang yang mendatanginya dalam mimpi. Itulah patung St Alfonsus Liguori, pendiri Redemptoris. St Theresia menegaskan panggilannya untuk menjadi seorang broeder Redemptoris.
“Adik, engkau akan menemui onak duri di sepanjang jalan, dan langit yang sekarang tenang akan diliputi awan gelap… Engkau akan mencucurkan airmata, engkau akan kehilangan sukacitamu dan engkau akan seperti seorang yang diturunkan ke keputusasaan… Tetapi ingatlah bahwa dunia memperlakukan Yesus seperti itu dan bahwa seorang Redemptoris serupa dengan Juruselamat-nya… Meski begitu, jangan takut. Dalam badai ini, Yesus akan terus tinggal dalam perahu jiwamu… Adik, engkau tidak akan lagi mendengarku berbicara begitu akrab denganmu seperti sekarang. Janganlah berpikir bahwa aku meninggalkanmu. Sebaliknya, aku terus tinggal dekatmu seperti seharusnya seorang kakak… Di dunia ini, penderitaan merupakan bukti kasihmu, dan penderitaan memberikan pada kasihmu segala makna dan nilai.”
Van diterima di Biara Redemptoris di Hanoi pertama-tama sebagai pembantu rumah tangga dan, pada tanggal 17 Oktober 1944 ia diterima sebagai postulan dengan nama Broeder Marcel. Hari sesudah profesi religius, Marcel Van mendengar Yesus berkata kepadanya: “Anak-Ku, demi kasih kepada umat manusia, persembahkanlah dirimu kepada-Ku, agar mereka dapat diselamatkan.” Perkataan ini meneguhkan nilai penderitaan yang dipersatukan dengan penderitaan Kristus. Broeder Marcel menulis: “Yesus hendak mempergunakan tubuhku untuk menanggung penderitaan, penghinaan dan kepayahan, agar api kasih yang membakar Hati Ilahi-Nya dapat ditularkan kepada hati segenap manusia di bumi.”
Mulai dari masa novisiat, atas permintaan pembimbing rohani, Broeder Marcel menulis otobiografi. Selama dua tahun ia dianugerahi percakapan-percakapan rohani yang akrab mesra dengan Yesus, Maria dan St Theresia. Tetapi pada tanggal 9 September 1946, sehari sesudah kaul pertama, Yesus mengatakan kepadanya, “Anak-Ku, bagianmu sekarang adalah mengurbankan saat-saat keakraban manis bersama-Ku, dan membiarkan-Ku pergi mencari para pendosa… Kemudian, Van kecil-Ku, ketahuilah bahwa engkau akan menderita karena Superior dan Saudara-saudaramu. Akan tetapi pencobaan-pencobaan ini akan menjadi tanda bahwa engkau menyenangkan Hati-Ku. Aku memohon semua penderitaan ini demi mempersatukanmu kepada-Ku dalam karya pengudusan para imam.”
Broeder Marcel mengerti bahwa misinya adalah berdoa dengan suatu cara yang istimewa bagi para imam dan para calon imam. Sebagaimana ia sendiri mengatakan: “Aku mengerti bahwa misi yang Tuhan percayakan kepadaku amat penting, yakni memberikan nyawa kepada para imam… Allah membutuhkan kerjasama dari jiwa-jiwa tertentu untuk melahirkan di kalangan para imam kelimpahan rahmat ilahi yang akan membantu mereka untuk hidup dan untuk bertindak selaras dengan kehendak Allah.” (Surat kepada Hghi, 23 Juli 1952).
“Ya, inilah dahaga unik hidupku, dan sebab dahaga ini, aku telah mengenakan pada diriku sendiri kewajiban untuk menjadi “jantung” para imam, menggunakan kehangatan kasih dan sumber kasih penebusan untuk berdetak dan untuk memberi hidup kepada para imam.
Tak lama, segeralah datang “malam kelam jiwa” Broeder Marcel. Sebagian besar rahmat mistik dan penghiburan lenyap dan hanya kurban membosankan yang masih tinggal dalam iman yang murni.
PENGAKU IMAN
Pada tahun 1950, Broeder Marcel dikirim ke Saigon, dan kemudian ke Dalat. Pada bulan Juli 1954, Vietnam Utara dikuasai Komunis. Banyak umat Katolik mengungsi ke Selatan. Beberapa biarawan Redemptoris tetap tinggal di biara di Hanoi untuk melayani umat Kristiani yang masih tinggal. Broeder Marcel paham bahwa Yesus memintanya untuk menggabungkan diri bersama mereka. “Aku pergi ke sana (Hanoi),” tulisnya, “agar ada seorang yang mengasihi Allah di tengah-tengah kaum Komunis.” Beberapa minggu sesudahnya, ia menulis kepada saudarinya Anna-Maria: “Cukup sering aku dikuasai kepedihan, dan aku hanya berpikir, `Oh, andai saja aku tak datang ke Hanoi… Tetapi ada desakan yang begitu kuat dalam suara Yesus!”
Pada hari Sabtu, 7 Mei 1955, sementara dalam perjalanan ke pasar, Broeder Marcel ditangkap dan digiring ke kantor investigasi kriminal, lalu dijebloskan ke dalam penjara. Lima bulan kemudian, ia dipindahkan ke penjara pusat di Hanoi, di mana ia bertemu dengan banyak umat Katolik dan para imam. Broeder Marcel menulis kepada Superiornya: “Andai aku ingin hidup, mudah saja bagiku. Aku hanya perlu mendakwa Anda. Tetapi jangan khawatir, aku tak akan pernah berbuat demikian.” Kepada Bapa Pengakuan ia menulis: “Bulan-bulan terakhir ini aku harus berjuang segigih mungkin dan menanggung segala siksa cuci otak. Para musuh mempergunakan berbagai muslihat untuk membuatku menyerah, tetapi aku tak akan membiarkan kelengahan barang sedikitpun.” Dan kepada saudarinya: “Tak seorang pun akan dapat merenggut senjata kasih dariku. Tiada derita yang mampu menyingkirkan senyum kasih yang aku biarkan menghiasi wajah tirusku, Dan untuk siapakah gerangan senyumku, jika bukan untuk Yesus, sang Kekasih hati? … Aku adalah kurban Kasih, dan Kasih adalah segala kebahagiaanku - suatu kebahagiaan yang tak dapat dimusnahkan….”
Setahun sesudah penangkapannya, Broeder Marcel muncul di hadapan pengadilan di Hanoi dalam keadaan tenang dan penuh penguasaan diri. Pengadilan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara dalam sebuah kamp “pendidikan ulang”. Ia dibawa ke Kamp No 1, di mana ia menjumpai banyak umat Katolik. “Aku sangat sibuk, seperti seorang imam paroki kecil. Di samping jam-jam kerja paksa, aku harus terus-menerus menyambut mereka yang datang silih berganti mencari penghiburan dariku… Tuhan Sendiri membuatku tahu bahwa aku melakukan kehendak-Nya di sini. Berulang kali, aku memohon kepada-Nya anugerah mati dalam kamp ini, tetapi setiap kali, Ia menjawabku: `Aku siap mengikuti kehendakmu sebagaimana engkau senantiasa mengikuti kehendak-Ku, tetapi ada jiwa-jiwa yang masih membutuhkanmu…'” Setiap kali Broeder Marcel berserah diri pada kehendak Allah.
Pada bulan Agustus 1957, Broeder Marcel Van dipindahkan ke Kamp No 2. Setelah suatu upaya meloloskan diri demi mendapatkan Hosti yang sudah dikonsekrir, ia ditangkap kembali, didera, dan dipenjarakan dalam sel yang kumuh dan pengap. Segalanya menjadi lebih sulit bagi - tak ada lagi kunjungan-kunjungan, tak ada lagi surat, dan di awal 1958 ia mulai melewatkan hidupnya dalam belenggu, seorang diri, tanpa dukungan dan tanpa penerangan, terkecuali terang yang memancar dalam hatinya. Tubuhnya habis digerogoti tuberculosis dan beri-beri. Broeder Marcel Van pun menyerahkan jiwanya kepada Tuhan tengah hari pada tanggal 10 Juli 1959, dalam usia 31 tahun. Pengajuan Beatifikasi Broeder Marcel Van sebagai seorang pengaku iman dibuka pada tanggal 26 Maret 1997 di Keuskupan Belley-Ars, Perancis.
“Kasih tak dapat mati, melainkan terus mengasihi tanpa mengenal batasan-batasan waktu. Ah, andai saja aku dapat mati karena kasih! Aku telah melakukan tindak persembahan diri yang total, dan tindak ini telah diterima….”
~ Venerabilis Marcel Van
BEBERAPA PESAN TUHAN KEPADA MARCEL VAN
Kepercayaan kepada Kasih
“Wahai jiwa-jiwa berdosa… satu-satunya yang Aku minta darimu, dan yang cukup bagi-Ku untuk mendekapkanmu pada Hati-Ku yang bernyala-nyala, adalah agar engkau sungguh percaya bahwa Kasih mengasihimu secara tak terhingga. Sayangnya, anak-anak kecil, adakah kalian percaya bahwa Aku tak mengetahui betapa malangnya kalian? Bahkan meski kemalanganmu tak terhingga, kalian harus percaya bahwa jasa-jasa-Ku juga tak terhingga. Bahkan meski dosa-dosamu telah mengganjarimu neraka bagimu berulang-ulang kali hingga tak terbatas, janganlah engkau, karena semua itu, kehilangan kepercayaan kepada Kasih-Ku. Malangnya adalah manusia tidak memiliki kepercayaan kepada Kasih-ku. Oh! Dosa! Dosa! Dosa tak pernah melukai Kasih-Ku; sama sekali tak ada yang melukai Kasih-Ku, terkecuali kurangnya kepercayaan kepada Kasih-Ku….
Marcel! Marcel! Broeder kecil, berdoalah agar jiwa-jiwa berdosa, yang begitu banyak jumlahnya, tak pernah kehilangan kepercayaan kepada Kasih-Ku. Selama mereka memelihara kepercayaan ini, Kerajaan Surga sungguh tak berhenti menjadi milik mereka.”
Seberkas Kepercayaan
“Seberkas kepercayaan kepada-Ku cukuplah untuk merenggut jiwa-jiwa berdosa dari cengkeraman iblis. Bahkan meski suatu jiwa mendapati dirinya sudah berada di ambang pintu gerbang neraka, menanti desahan terakhirnya sebelum jatuh ke dalam neraka, jika dalam desahan terakhir ini ada barang sedikit saja unsur kepercayaan kepada Kasih-Ku yang tak terhingga, itu akan cukuplah bagi Kasih-Ku untuk menarik jiwa itu ke dalam pelukan Tritunggal Mahakudus. Itulah sebabnya mengapa Aku katakan bahwa adalah sangat mudah bagi manusia untuk pergi ke surga dan bahkan sulit tak terhingga untuk masuk ke dalam neraka, sebab Kasih tak dapat pernah membiarkan suatu jiwa kehilangan dirinya begitu mudah.”
Suatu Percakapan Natal
Dalam Misa Natal 1945, Van melihat Yesus yang sungguh teramat elok. Ia bertanya kepada-Nya:
“Ah Yesus, siapakah gerangan yang mendandanimu dengan pakaian yang begitu indah? Dan siapakah yang membuat pakaian-pakaian indah ini untuk-Mu?”
“Marcel, engkau katakan bahwa Aku berpakaian indah? Dan siapakah yang dapat mendanani-Ku dengan begitu indah jika bukan engkau, Marcel?”
“Tetapi Yesus, aku tak pernah tahu bagaimana membuat pakaian untuk-Mu.”
“Kalau begitu, Marcel, tanyakanlah kepada saudarimu Theresia untuk mengetahui siapakah yang mendandani-Ku begitu baik dengan memberi-Ku pakaian-pakaian yang begitu cantik.”
“Saudariku Theresia, bukankah SP Maria yang membuat pakaian-pakaian ini untuk Yesus?”
“Pakaian-pakaian ini, bukan SP Maria ataupun aku yang membuatnya. Jadi, coba terka siapa kira-kira… Adik, kau yang membuatnya! Sementara aku, aku hanya membantumu membuatnya, dan engkau sendiri yang mendandani Yesus dengannya.”
“Apakah yang telah aku lakukan untuk membuat pakaian-pakaian indah ini?”
Pertama-tama, adikku terkasih, biarlah aku memberimu sebuah kecupan. Dan sekarang, inilah jawabanku. Dengarkan aku baik-baik. Tiap-tiap desahan yang kau hela karena penderitaan yang kau tanggung sepanjang minggu-minggu terakhir ini, tiap-tiap desahan ini cukuplah untuk menjadikan sehelai wool atau sekuntum bunga; jadi aku mempergunakan helaian-helaian wool yang engkau tenun setiap hari dengan penderitaanmu ini, seperti bunga-bungaan yang engkau petik, untuk merajut pakaian-pakaian indah ini bagi Yesus. Adakah engkau mengerti, adik? Dan adakah membuatmu bahagia melihat Yesus dengan pakaian-pakaian yang begitu indah? Jika sekarang pakaian-pakaian Yesus telah begitu indah, maka pakaian-pakaian itu akan menjadi terlebih lagi indah pada hari persatuanmu dengan-Nya. Darimana keindahan ini berasal, tak perlulah kau khawatir tentangnya. Sekarang sesudah Yesus memberimu kecupan-kecupan-Nya, pertama-tama renungkanlah untuk tinggal dalam sukacita dan halaulah segala pikiran kesedihan dan kecemaran. (Marcel Van, Colloques p.98, Preface from Cardinal Schoenborn, Ed. Saint-Paul)
Sumber: 1.“The Servant of God, Brother Marcel Van C.Ss.R. (Redemptorist)”; www.mysticsofthechurch.com; 2.“Marcel Van: A Soul for Priests
by Father Mark”; 3. berbagai sumber
Diperkenankan menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”