Jumat, 11 Mei 2012

Film Soegija Tidak Tojolkan Unsur Agama


Film Soegija tidak tonjolkan unsur agama

11/05/2012
Film Soegija tidak tonjolkan unsur agama thumbnail
Soegija merupakan film layar lebar teranyar garapan Sutradara Garin Nugroho, bersama Produser Djaduk Ferianto.
Film Soegija mengangkat kisah kehidupan Mgr Albertus Soegijapranata SJ, orang pribumi pertama yang menjadi uskup di Indonesia.
Sisi kemanusiaan, multikulturalisme dan kebhinekaan, yang belakangan seolah tergerus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, justru menjadi hal menonjol ditampilkan dalam film ini.
Semasa hidupnya, Soegija selalu mengatakan, “Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar.”
Mengingat Film Soegija bercerita tentang seorang tokoh Katolik, memang banyak orang sempat berpikir sarat aroma dakwah atau seputar dogma agama Katolik. Padahal, Soegija dikenal bukan saja karena tokoh Katolik, melainkan sebagai pahlawan nasional yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Termasuk memperjuangkan pengakuan luar negeri, sehingga Vatikan menjadi negara pertama mengakui kemerdekaan RI.
“Tentu, ini bukan film yang mengajari atau mendikte. Justru temanya sangat pas dalam konteks Indonesia saat ini yang kehilangan sosok pemimpin,” ujar Djaduk Ferianto, yang menjadi Produser Film Soegija, dalam diskusi di XXI Epicentrum, Jakarta, belum lama ini, seperti dilansir matanews.com.
Sebagai seorang pejuang kemerdekaan, tentu saja seting Film Soegija menampilkan banyak kisah-kisah pada periode pra kemerdekaan tahun 1940, hingga masa agresi ke dua 1949, yang ditafsirkan secara independen oleh Garin Nugroho sebagai sutradara. “Garin menggambarkan pemikiran Soegijapranata yang humanis,” cetus Djaduk.
Mengambil lokasi syuting di Semarang dan Yogjakarta, Film Soegija pun sangat kental dengan nuansa musik lawas tradisonal Jawa, sebagai faktor penerawangan masa lalu, seperti lagu Kopi Susu,Zandvoort Aan De Zee, Langkahku, Pengabdian Yang Kau Pinta, Donga, Soedara Tua dan Lentera.
Film Soegija yang dimotori Puskat Pictures, Yogjakarta, termasuk kategori kolosal yang membutuhkan waktu produksi hingga tiga tahun dan melibatkan 2.275 orang, termasuk pemain asal Belanda dan Jepang.
Film yang direncanakan tayang di bioskop-bioskop tanah air mulai 7 Juni 2012, menghabiskan biaya sebesar 12 miliar rupiah. “Berkisah tentang tokoh Katolik, tetapi film Soegija bisa dinikmati seluruh masyarakat, karena lebih menonjolkan sisi kemanusiaan,” tandas Garin Nugroho.

http://indonesia.ucanews.com/2012/05/11/film-soegija-tidak-tonjolkan-unsur-agama/

1 komentar:

  1. Setahu saya, Vatikan bukan negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI. Negara Eropa pertama, mungkin.
    Pada bulan 22 Maret 1946, negara Mesir mengakui secara de facto Kemerdekaan Indonesia dengan mengakhiri kepengurusan WNI dari kedutaan Belanda di Mesir.
    Pengakuan secara de Jure terjadi pada tanggal 10 Juni 1947 di tandatangani secara resmi Perjanjian Persahabatan RI-Mesir dan sekaligus mendirikan Kedutaan RI pertama di luar negeri. Saat itulah ayah saya diangkat menjadi pegawai Deplu dengan jabatan Sekretaris 1.
    Itu semua ada di buku ayah saya "Diplomasi Revolusi di Luar Negeri", dengan kata pengantar Mantan Wakil Presiden (M. Hatta), Ketua MPRS saat itu (AH Nasution) dan Menteri Luar Negeri (Adam Malik).

    BalasHapus