Jumat, 28 Oktober 2011

DEKLARASI BERSAMA KATOLIK-LUTHERAN

Yohanes Paulus II (1920-2005)
Martin Luther (1483-1546)

Saya mendengar bahwa Katolik dan Lutheran telah menandatangani pernyataan mengenai keselamatan. Saya mendengar seseorang di paroki mengatakan sesuatu seperti, “Gereja pada akhirnya mengakui bahwa Luther benar, dan kita salah.” Benarkah demikian?
~ seorang pembaca di Southern Virginia


“Seseorang di paroki” itu entah terperdaya oleh berita-berita dangkal yang beredar mengenai iman Katolik kita, atau dia memang salah. Berikut beberapa fakta pokok sehubungan dengan pertanyaan di atas: Pada tanggal 31 Oktober 1999 di Augsburg, Jerman, para utusan dari Gereja Katolik dan Federasi Gereja-gereja Lutheran Sedunia menandatangani “Deklarasi Bersama Katolik-Lutheran mengenai Doktrin Pembenaran.” Setelah diskusi panjang lebar, tiga dokumen diterbitkan: Deklarasi Bersama itu sendiri, “Pernyataan Bersama Resmi” dan “Tambahan Katolik pada Penyataan Bersama” (yang menjelaskan lebih lanjut mengenai pandangan Gereja Katolik). Patut diingat bahwa sejak masa Martin Luther, salah satu subyek yang paling diperdebatkan antara teologi Lutheran dan teologi Katolik adalah mengenai pembenaran. Patut dicamkan juga bahwa Gereja Katolik sama sekali tidak mengubah ataupun menarik kembali keyakinannya mengenai masalah ini sebagaimana didefinisikan oleh Konsili Trente (1545-1563), yang menjelaskan kesalahan-kesalahan Luther dan “para penggagas reformasi” lainnya.

Namun demikian, dalam “Deklarasi Bersama”, Katolik dan Lutheran mencapai “suatu konsensus kebenaran pokok mengenai doktrin pembenaran”: “Bersama kita mengaku: dengan rahmat saja, dalam iman akan karya keselamatan Kristus dan bukan karena jasa apapun dari pihak kita, kita diterima oleh Allah dan menerima Roh Kudus, yang membaharui hati kita sembari memperlengkapi dan memanggil kita pada perbuatan-perbuatan baik.” Sepintas lalu, pernyataan yang demikian tampaknya begitu mudah dapat diterima sehingga orang bertanya, “Apakah sesungguhnya yang menjadi masalah?”

Masalahnya adalah dan tetap demikian, bagaimana Katolik memahami pembenaran versus bagaimana Lutheran memahaminya. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Rahmat Roh Kudus mempunyai kekuatan untuk membenarkan kita, artinya untuk membersihkan kita dari dosa dan untuk memberikan kepada kita `kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus' (Rm 3:22) dan karena Pembaptisan” (No. 1987). Melalui pembaptisan, dengan air dan Roh Kudus, seorang dibebaskan dari dosa asal dan semua dosa pribadi, dan Allah yang Mahakuasa menanamkan dalam jiwanya-yang-sekarang-telah-murni rahmat pengudusan, keikutsertaan dalam kehidupan Allah dan kasih Tritunggal Mahakudus. Ia bukan lagi hamba dosa; ia telah diampuni dari segala dosa, dan sekarang ia adalah anak Allah dan warga Gereja Katolik. Pada saat yang sama, ia ikut ambil bagian dalam misteri keselamatan sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan, dan menyambut serta menerima kebenaran Allah melalui iman akan Yesus Kristus. Kebenaran di sini menyatakan keluhuran kasih ilahi, sebab Tuhan mencurahkan ke dalam jiwa kebajikan-kebajikan adikodrati iman, harapan dan kasih: Seorang percaya akan Allah, berharap pada-Nya, dan mengasihi-Nya, dan dengan sukarela menanggapi dorongan Roh Kudus dengan ketaatan seorang anak. (Bdk Katekismus Gereja Katolik, No 1989-1995.) Tentu saja, concupiscentia atau kecenderungan kepada dosa - kelemahan kodrat manusia dari dosa asal yang menjadikan kita rentan terhadap pencobaan, tetap tinggal; namun demikian, dengan rahmat Allah kita melanjutkan pertobatan dan perjuangan kita mencapai kekudusan.

Pembenaran ini, yang dianugerahkan melalui Sakramen Baptis, menghantar orang pada kelahiran kembali dan penciptaan kembali. Sepanjang Ritus Pembaptisan, point ini ditekankan berulang kali: Dalam pengajaran kepada orangtua: “Dengan air dan Roh Kudus, [anak kalian] menerima anugerah hidup baru dari Allah, yang adalah kasih.” Dalam Pengurapan dengan Krisma: “Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus telah membebaskan engkau dari dosa, memberimu kelahiran baru dengan air dan Roh Kudus, dan menyambutmu ke dalam umat kudus-Nya” Dalam mengenakaan kain putih: “Saudara telah menjadi suatu ciptaan baru dan mengenakan Kristus pada dirimu.” Dalam pengantar Doa Bapa Kami: “Anak ini telah dilahirkan kembali dalam pembaptisan. Ia sekarang disebut anak Allah, sebab ia sungguh anak Allah.” Pada intinya, sebagai umat Katolik kita meyakini bahwa pembenaran yang diterima saat Pembaptisan menjadikan kita suatu ciptaan baru dan memberikan martabat yang terlebih luhur dari yang dapat pernah kita harapkan, bahkan terlebih lagi, sebagaimana dikatakan St Agustinus, terlebih dahsyat dari para malaikat. Sebab itu, Konsili Trente mengajarkan, “Pembenaran bukan hanya pengampunan dosa, melainkan juga pengudusan dan pembaharuan manusia batin” (Dekrit mengenai Pembenaran).

Selain itu, sementara mengamalkan iman dan pembaptisan kita, kita terus menanggapi rahmat Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dengan berbuat demikian, kita bertumbuh dalam kekudusan. Sebagaimana diajarkan St Yakobus, “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: `Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!', tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yakobus 2:14-17). Jadi, bagi Katolik, dengan rahmat Allah, iman diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan baik, dan perbuatan-perbuatan baik membantu memperkuat iman. Konsili Trente mengajarkan, “Jika iman hidup bersama dengan perbuatan-perbuatan, mereka bertambah dalam pembenaran yang diterimanya melalui rahmat Kristus dan lebih jauh dibenarkan” (Dekrit mengenai Pembenaran).

Dengan mencamkan kebenaran-kebenaran ini dalam benak, Gereja Katolik dapat menyetujui pernyataan “Deklarasi Bersama”. Pembenaran ini diperolehkan bagi kita melalui sengsara Yesus, yang dengan sukarela menderita dan wafat demi mengampuni dosa-dosa kita.

Namun demikian, Lutheran, meski juga menerima pernyataan pokok, memiliki pemahaman yang berbeda mengenai pembenaran. Luther percaya bahwa dosa asal telah merusakkan sama sekali keserupaan kita dengan Allah, sehingga orang kehilangan kehendak bebasnya dan semua perbuatannya adalah dosa. Luther mengajarkan bahwa setelah pembaptisan, dosa asal tetap ada. (Sementara Katolik membedakan antara dosa asal dan kecenderungan kepada dosa, Lutheran pada intinya tidak.) Bahkan sesudah pembaptisan, kodrat manusia tetap rusak; tidak ada ciptaan baru. Namun demikian, melalui baptis dan rahmat yang diperoleh melalui sengsara dan wafat Tuhan kita, kepada orang dikenakan rahmat dan dengan demikian ia tampak benar di hadapan Allah. Martin Luther menggambarkan seorang yang dibenarkan bagai setumpuk kotoran yang disalut salju, bersih luarnya tetapi busuk dalamnya. (Patut dicatat, ini adalah perumpamaan harafiah dari Luther.) Lebih lanjut ia menjelaskan, “Saya memahami rahmat dalam arti anugerah dari Allah, tetapi tidak dalam arti kualitas dalam jiwa. Bagian luarnya baik, yakni, anugerah Allah sebagaimana dipertentangkan dengan murka-Nya.” Jadi, bagi Luther rahmat tinggal ekstrinsik pada orang, dan tidak menghasilkan ciptaan baru. Ungkapan klasik Lutheran, simul justus et peccator - sekaligus seorang benar dan seorang berdosa - menangkap keadaan orang bahkan sesudah pembaptisan.

Seturut pemahaman ini, karena manusia telah rusak dan berdosa, demikian jugalah perbuatan-perbuatannya. Sebab itu, perbuatan-perbuatan baik tidak ada artinya bagi Luther, dan tak ambil bagian dalam pembenaran, dengan demikian mengabaikan ajaran St Yakobus. Bagi Luther, keselamatan datang melalui “iman saja”.

Yang menarik, Luther bermaksud menyingkirkan Epistula St Yakobus dari Perjanjian Baru sebagaimana dilakukannya dengan ketujuh kitab dari Perjanjian Lama, tetapi Pangeran Jerman yang Protestan, pelindungnya, mengancam untuk menarik dukungan apabila ia melakukan hal itu. Selanjutnya, guna menekankan ajarannya mengenai “iman saja”, Luther menambahkan kata “saja” pada Surat kepada Jemaat di Roma 3:28: “… Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman saja [tambahan Luther], dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat.”

yesaya.indocell.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar